- Majjhima Nikāya
- 122. Mahāsuññata Sutta
Khotbah Panjang tentang Kekosongan
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.
Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kapilavatthu dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi untuk melewatkan hari di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Pada saat itu terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Ketika Sang Bhagavā melihat ini, Beliau berpikir: “Ada banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”
Pada saat itu Yang Mulia Ānanda, bersama dengan banyak bhikkhu, sedang sibuk membuat jubah di kediaman Ghāṭā orang Sakya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasinya dan pergi ke kediaman Ghāṭā orang Sakya. Di sana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda.
“Ānanda, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”
“Yang Mulia, banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Ada banyak bhikkhu menetap di sana. Ini adalah waktunya bagi kami untuk membuat jubah, Yang Mulia.”
“Ānanda, seorang bhikkhu tidak bersinar dengan bersenang-senang bersama teman-teman, dengan bergembira bersama teman-teman, dengan menekuni kesenangan bersama teman-teman; dengan bersenang-senang dalam masyarakat, dengan bergembira bersama masyarakat, dengan menekuni kesenangan bersama masyarakat; sesungguhnya, Ānanda, adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bersenang-senang bersama teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kesenangan bersama teman-teman; yang bersenang-senang bersama masyarakat, yang bergembira bersama masyarakat, yang menekuni kesenangan bersama masyarakat, jika ia menghendaki, dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan, dengan tanpa kesulitan atau kesusahan. Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari masyarakat, jika ia menghendaki maka ia akan dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan dengan tanpa kesulitan dan tanpa kesusahan.
“Sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bersenang-senang bersama teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kesenangan bersama teman-teman; yang bersenang-senang bersama masyarakat, yang bergembira bersama masyarakat, yang menekuni kesenangan bersama masyarakat akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam kebebasan pikiran yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari masyarakat, maka ia akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam kebebasan pikiran yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan.
“Aku tidak melihat bahkan satu jenis bentukpun, Ānanda, yang dari perubahannya tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menggemarinya dan bersenang di dalamnya.
“Akan tetapi, Ānanda, ada kediaman ini yang telah ditemukan oleh Sang Tathāgata: untuk masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal dengan tidak memperhatikan segala gambaran. Jika, sewaktu Sang Tathāgata sedang berdiam demikian, Beliau didatangi oleh para bhikkhu atau para bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki atau perempuan, oleh raja-raja atau menteri-menteri, oleh para penganut sekte lain atau murid-murid mereka, maka dengan pikiran yang bersandar pada keterasingan, mengarah dan condong pada keterasingan, menarik diri, bersenang dalam pelepasan keduniawian, dan sama sekali menyingkirkan hal-hal yang menjadi landasan bagi noda-noda, Beliau selalu berbicara kepada mereka dalam suatu cara yang dapat membubarkan mereka.
“Oleh karena itu, Ānanda, jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal,’ maka ia harus mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. Dan bagaimanakah ia mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya?
“Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya.
“Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.
“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketanpa-gangguan. Sewaktu ia sedang memperhatikan ketanpa-gangguan, pikirannya tidak masuk ke dalam ketanpa-gangguan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketanpa-gangguan, pikiranku tidak masuk ke dalam ketanpa-gangguan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.
“Kemudian bhikkhu itu harus mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya pada gambaran konsentrasi yang sama itu seperti sebelumnya. Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya masuk ke dalam kekosongan secara internal dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku masuk ke dalam kekosongan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.
“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketanpa-gangguan. Sewaktu ia sedang memperhatikan ketanpa-gangguan, pikirannya masuk ke dalam ketanpa-gangguan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketanpa-gangguan, pikiranku masuk ke dalam ketanpa-gangguan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.
“Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berjalan, maka ia berjalan, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berjalan demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerangku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu. Dan ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berdiri, maka ia berdiri … jika pikirannya condong untuk duduk, maka ia duduk … jika pikirannya condong untuk berbaring, maka ia berbaring, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berbaring demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerangku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.
“Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berbicara, maka ia memutuskan: ‘Pembicaraan demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang para raja, para perampok, para menteri, para prajurit, bahaya-bahaya, peperangan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, wangi-wangian, sanak saudara, kendaraan-kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, negeri-negeri, para perempuan, para pahlawan, jalan-jalan, sumur-sumur, orang-orang mati, hal-hal sepele, asal-mula dunia, asal-mula lautan, apakah hal-hal itu adalah demikian atau tidak demikian: pembicaraan demikian tidak akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
“Tetapi ia memutuskan: ‘Pembicaraan demikian yang membahas tentang penghapusan, yang mendukung kebebasan pikiran, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: pembicaraan demikian akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
“Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berpikir, maka ia memutuskan: ‘Pikiran demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman: pikiran demikian tidak akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
“Tetapi ia memutuskan: ‘Pemikiran demikian adalah mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang melatihnya menuju pelenyapan penderitaan sepenuhnya, yaitu, pikiran pelepasan keduniawian, pikiran tanpa permusuhan, dan pikiran tanpa-kekejaman: pikiran-pikiran demikian akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
“Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.
“Di sini seorang bhikkhu harus terus-menerus memeriksa pikirannya sebagai berikut: ‘Apakah ada kegairahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku?’ Jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Kegairahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini memang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Tetapi jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Tidak ada kegairahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
“Ānanda, terdapat lima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan, yang sehubungan dengannya seorang bhikkhu harus berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya.’
“Ketika ia berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka keangkuhan ‘aku’ yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini ditinggalkan dari dalam dirinya. Pada saat itu, bhikkhu itu memahami: ‘Keangkuhan “aku” yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.
“Kondisi-kondisi ini adalah seluruhnya bermanfaat dan memiliki hasil bermanfaat; kondisi-kondisi ini mulia, melampaui keduniawian, dan tidak terjangkau oleh Yang Jahat.
“Bagaimana menurutmu, Ānanda? Kebaikan apakah yang dilihat oleh seorang siswa sehingga ia ingin berdekatan dengan Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi?”
“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, diputuskan oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”
“Ānanda, seorang siswa seharusnya tidak mendekati Sang Guru demi khotbah-khotbah, syair-syair, dan penjelasan-penjelasan. Mengapakah? Sejak lama, Ānanda, engkau telah mempelajari ajaran-ajaran, menghafalkannya, membacanya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Tetapi pembicaraan-pembicaraan demikian yang membahas tentang penghapusan, yang mendukung kebebasan pikiran, dan yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi.
“Karena hal ini, Ānanda, kegagalan seorang guru dapat terjadi, kegagalan seorang murid dapat terjadi, dan kegagalan seorang yang menjalani kehidupan suci dapat terjadi.
“Dan bagaimanakah kegagalan seorang guru terjadi? Di sini seorang guru mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada ketagihan, dan kembali kepada kemewahan. Guru ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan guru. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan guru terjadi.
“Dan bagaimanakah kegagalan seorang murid terjadi? Seorang murid dari guru itu, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada ketagihan, dan kembali kepada kemewahan. Murid ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan murid. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan murid terjadi.
“Dan bagaimanakah kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci terjadi? di sini Seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu Beliau menjalani kehidupan terasing demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, namun Beliau tidak menjadi tersesat, tidak menjadi dipenuhi dengan keinginan, tidak menyerah pada ketagihan, dan tidak kembali kepada kemewahan. Tetapi seorang murid dari guru ini, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada ketagihan, dan kembali kepada kemewahan. Orang ini yang menjalani kehidupan suci dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Demikianlah terjadinya kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci memiliki akibat yang lebih menyakitkan, akibat yang lebih pahit, daripada kegagalan guru atau kegagalan murid, dan hal ini bahkan dapat mengarah menuju kesengsaraan.
“Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama. Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai musuh, bukan sebagai teman? Di sini, Ānanda, dengan berbelas kasih dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi belas kasih: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya tidak ingin mendengarkan atau menyimak atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka melakukan kekeliruan dan berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai musuh, bukan sebagai teman.
“Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai teman, bukan sebagai musuh? Di sini, Ānanda. Di sini, Ānanda, dengan berbelas kasih dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi belas kasih: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya ingin mendengar dan menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka tidak melakukan kekeliruan dan tidak berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai teman, bukan sebagai musuh. Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.
“Aku tidak akan memperlakukan engkau seperti seorang pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat kasar yang basah. Berulang-ulang untuk mencegah kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Berulang-ulang untuk menegur kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Inti yang benar akan bertahan terhadap pengujian.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
- Middle Discourses 122
The Longer Discourse on Emptiness
So I have heard. At one time the Buddha was staying in the land of the Sakyans, near Kapilavatthu in the Banyan Tree Monastery.
Then the Buddha robed up in the morning and, taking his bowl and robe, entered Kapilavatthu for alms. He wandered for alms in Kapilavatthu. After the meal, on his return from alms-round, he went to the dwelling of Kāḷakhemaka the Sakyan for the day’s meditation.
Now at that time many resting places had been spread out at Kāḷakhemaka’s dwelling. The Buddha saw this, and wondered, “Many resting places have been spread out; are there many mendicants living here?”
Now at that time Venerable Ānanda, together with many other mendicants, was making robes in Ghaṭa the Sakyan’s dwelling. Then in the late afternoon, the Buddha came out of retreat and went to Ghaṭa’s dwelling, where he sat on the seat spread out and said to Venerable Ānanda, “Many resting places have been spread out at Kāḷakhemaka’s dwelling; are many mendicants living there?”
“Indeed there are, sir. It’s currently the time for making robes.”
“Ānanda, a mendicant doesn’t shine who enjoys company and groups, who loves them and likes to enjoy them. It’s simply not possible that such a mendicant will get the pleasure of renunciation, the pleasure of seclusion, the pleasure of peace, the pleasure of awakening when they want, without trouble or difficulty. But you should expect that a mendicant who lives alone, withdrawn from the group, will get the pleasure of renunciation, the pleasure of seclusion, the pleasure of peace, the pleasure of awakening when they want, without trouble or difficulty. That is possible.
Indeed, Ānanda, it is not possible that a mendicant who enjoys company will enter and remain in the freedom of heart—either that which is temporary and pleasant, or that which is irreversible and unshakable. But it is possible that a mendicant who lives alone, withdrawn from the group will enter and remain in the freedom of heart—either that which is temporary and pleasant, or that which is irreversible and unshakable.
Ānanda, I do not see even a single sight which, with its decay and perishing, would not give rise to sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress in someone who has desire and lust for it.
But the Realized One woke up to this meditation, namely to enter and remain in emptiness internally by not focusing on any signs. Now, suppose that while the Realized One is practicing this meditation, monks, nuns, laymen, laywomen, rulers and their ministers, founders of religious sects and their disciples go to visit him. In that case, with a mind slanting, sloping, and inclining to seclusion, withdrawn, and loving renunciation, he invariably gives each of them a talk emphasizing the topic of dismissal.
Therefore, if a mendicant might wish: ‘May I enter and remain in emptiness internally!’ So they should still, settle, unify, and immerse their mind in samādhi internally.
And how does a mendicant still, settle, unify, and immerse their mind in samādhi internally?
It’s when a mendicant, quite secluded from sensual pleasures, secluded from unskillful qualities, enters and remains in the first absorption … second absorption … third absorption … fourth absorption. That’s how a mendicant stills, settles, unifies, and immerses their mind in samādhi internally.
They focus on emptiness internally, but their mind isn’t eager, confident, settled, and decided. In that case, they understand: ‘I am focusing on emptiness internally, but my mind isn’t eager, confident, settled, and decided.’ In this way they are aware of the situation. They focus on emptiness externally … They focus on emptiness internally and externally … They focus on the imperturbable, but their mind isn’t eager, confident, settled, and decided. In that case, they understand: ‘I am focusing on the imperturbable internally, but my mind isn’t eager, confident, settled, and decided.’ In this way they are aware of the situation.
Then that mendicant should still, settle, unify, and immerse their mind in samādhi internally using the same meditation subject as a basis of immersion that they used before. They focus on emptiness internally, and their mind is eager, confident, settled, and decided. In that case, they understand: ‘I am focusing on emptiness internally, and my mind is eager, confident, settled, and decided.’ In this way they are aware of the situation. They focus on emptiness externally … They focus on emptiness internally and externally … They focus on the imperturbable, and their mind is eager, confident, settled, and decided. In that case, they understand: ‘I am focusing on the imperturbable, and my mind is eager, confident, settled, and decided.’ In this way they are aware of the situation.
While a mendicant is practicing such meditation, if their mind inclines to walking, they walk, thinking: ‘While I’m walking, bad, unskillful qualities of desire and aversion will not overwhelm me.’ In this way they are aware of the situation. While a mendicant is practicing such meditation, if their mind inclines to standing, they stand, thinking: ‘While I’m standing, bad, unskillful qualities of desire and aversion will not overwhelm me.’ In this way they are aware of the situation. While a mendicant is practicing such meditation, if their mind inclines to sitting, they sit, thinking: ‘While I’m sitting, bad, unskillful qualities of desire and aversion will not overwhelm me.’ In this way they are aware of the situation. While a mendicant is practicing such meditation, if their mind inclines to lying down, they lie down, thinking: ‘While I’m lying down, bad, unskillful qualities of desire and aversion will not overwhelm me.’ In this way they are aware of the situation.
While a mendicant is practicing such meditation, if their mind inclines to talking, they think: ‘I will not engage in the kind of speech that is low, crude, ordinary, ignoble, and pointless. Such speech doesn’t lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. Namely: talk about kings, bandits, and ministers; talk about armies, threats, and wars; talk about food, drink, clothes, and beds; talk about garlands and fragrances; talk about family, vehicles, villages, towns, cities, and countries; talk about women and heroes; street talk and well talk; talk about the departed; motley talk; tales of land and sea; and talk about being reborn in this or that state of existence.’ In this way they are aware of the situation. ‘But I will take part in talk about self-effacement that helps open the heart and leads solely to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That is, talk about fewness of wishes, contentment, seclusion, aloofness, arousing energy, ethics, immersion, wisdom, freedom, and the knowledge and vision of freedom.’ In this way they are aware of the situation.
While a mendicant is practicing such meditation, if their mind inclines to thinking, they think: ‘I will not think the kind of thought that is low, crude, ordinary, ignoble, and pointless. Such thoughts don’t lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That is, sensual, malicious, or cruel thoughts.’ In this way they are aware of the situation. ‘But I will think the kind of thought that is noble and emancipating, and brings one who practices it to the complete ending of suffering. That is, thoughts of renunciation, good will, and harmlessness.’ In this way they are aware of the situation.
There are these five kinds of sensual stimulation. What five? Sights known by the eye that are likable, desirable, agreeable, pleasant, sensual, and arousing. Sounds known by the ear … Smells known by the nose … Tastes known by the tongue … Touches known by the body that are likable, desirable, agreeable, pleasant, sensual, and arousing. These are the five kinds of sensual stimulation.
So you should regularly check your own mind: ‘Does my mind take an interest in any of these five kinds of sensual stimulation?’ Suppose that, upon checking, a mendicant knows this: ‘My mind does take an interest.’ In that case, they understand: ‘I have not given up desire and greed for the five kinds of sensual stimulation.’ In this way they are aware of the situation. But suppose that, upon checking, a mendicant knows this: ‘My mind does not take an interest.’ In that case, they understand: ‘I have given up desire and greed for the five kinds of sensual stimulation.’ In this way they are aware of the situation.
A mendicant should meditate observing rise and fall in these five grasping aggregates: ‘Such is form, such is the origin of form, such is the ending of form. Such is feeling … Such is perception … Such are choices … Such is consciousness, such is the origin of consciousness, such is the ending of consciousness.’
As they do so, they give up the conceit ‘I am’ regarding the five grasping aggregates. In that case, they understand: ‘I have given up the conceit “I am” regarding the five grasping aggregates.’ In this way they are aware of the situation.
These principles are entirely skillful, with skillful outcomes; they are noble, transcendent, and inaccessible to the Wicked One.
What do you think, Ānanda? For what reason would a disciple value following the Teacher, even if sent away?”
“Our teachings are rooted in the Buddha. He is our guide and our refuge. Sir, may the Buddha himself please clarify the meaning of this. The mendicants will listen and remember it.”
“A disciple should not value following the Teacher for the sake of statements, songs, or discussions. Why is that? Because for a long time you have learned the teachings, remembering them, reciting them, mentally scrutinizing them, and comprehending them theoretically. But a disciple should value following the Teacher, even if asked to go away, for the sake of talk about self-effacement that helps open the heart and leads solely to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That is, talk about fewness of wishes, contentment, seclusion, aloofness, arousing energy, ethics, immersion, wisdom, freedom, and the knowledge and vision of freedom.
This being so, Ānanda, there is a peril for the teacher, a peril for the student, and a peril for a spiritual practitioner.
And how is there a peril for the teacher? It’s when some teacher frequents a secluded lodging—a wilderness, the root of a tree, a hill, a ravine, a mountain cave, a charnel ground, a forest, the open air, a heap of straw. While meditating withdrawn, they’re visited by a stream of brahmins and householders of the city and country. When this happens, they enjoy infatuation, fall into greed, and return to indulgence. This teacher is said to be imperiled by the teacher’s peril. They’re ruined by bad, unskillful qualities that are corrupted, leading to future lives, hurtful, resulting in suffering and future rebirth, old age, and death. That’s how there is a peril for the teacher.
And how is there a peril for the student? It’s when the student of a teacher, emulating their teacher’s fostering of seclusion, frequents a secluded lodging—a wilderness, the root of a tree, a hill, a ravine, a mountain cave, a charnel ground, a forest, the open air, a heap of straw. While meditating withdrawn, they’re visited by a stream of brahmins and householders of the city and country. When this happens, they enjoy infatuation, fall into greed, and return to indulgence. This student is said to be imperiled by the student’s peril. They’re ruined by bad, unskillful qualities that are corrupted, leading to future lives, hurtful, resulting in suffering and future rebirth, old age, and death. That’s how there is a peril for the student.
And how is there a peril for a spiritual practitioner? It’s when a Realized One arises in the world, perfected, a fully awakened Buddha, accomplished in knowledge and conduct, holy, knower of the world, supreme guide for those who wish to train, teacher of gods and humans, awakened, blessed. He frequents a secluded lodging—a wilderness, the root of a tree, a hill, a ravine, a mountain cave, a charnel ground, a forest, the open air, a heap of straw. While meditating withdrawn, he’s visited by a stream of brahmins and householders of the city and country. When this happens, he doesn’t enjoy infatuation, fall into greed, and return to indulgence. But a disciple of this teacher, emulating their teacher’s fostering of seclusion, frequents a secluded lodging—a wilderness, the root of a tree, a hill, a ravine, a mountain cave, a charnel ground, a forest, the open air, a heap of straw. While meditating withdrawn, they’re visited by a stream of brahmins and householders of the city and country. When this happens, they enjoy infatuation, fall into greed, and return to indulgence. This spiritual practitioner is said to be imperiled by the spiritual practitioner’s peril. They’re ruined by bad, unskillful qualities that are corrupted, leading to future lives, hurtful, resulting in suffering and future rebirth, old age, and death. That’s how there is a peril for the spiritual practitioner.
And in this context, Ānanda, as compared to the peril of the teacher or the student, the peril of the spiritual practitioner has more painful, bitter results, and even leads to the underworld.
So, Ānanda, treat me as a friend, not as an enemy. That will be for your lasting welfare and happiness.
And how do disciples treat their Teacher as an enemy, not a friend? It’s when the Teacher teaches the Dhamma out of kindness and compassion: ‘This is for your welfare. This is for your happiness.’ But their disciples don’t want to listen. They don’t pay attention or apply their minds to understand. They proceed having turned away from the Teacher’s instruction. That’s how the disciples treat their Teacher as an enemy, not a friend.
And how do disciples treat their Teacher as a friend, not an enemy? It’s when the Teacher teaches the Dhamma out of kindness and compassion: ‘This is for your welfare. This is for your happiness.’ And their disciples want to listen. They pay attention and apply their minds to understand. They don’t proceed having turned away from the Teacher’s instruction. That’s how the disciples treat their Teacher as a friend, not an enemy.
So, Ānanda, treat me as a friend, not as an enemy. That will be for your lasting welfare and happiness. I shall not mollycoddle you like a potter with their damp, unfired pots. I shall speak, correcting you again and again, pressing you again and again. The core will stand the test.”
That is what the Buddha said. Satisfied, Venerable Ānanda was happy with what the Buddha said.