Bodhicaryāvatāra Chapter 9

Array

1.
Yang tercerahkan membabarkan keseluruhan cabang ajaran ini demi [pencapaian] kebijaksanaan.106
oleh karenanya, bagi yang ingin mengakhiri penderitaan harus mengembangkan kebijaksanaan ini.

2.
Kebenaran yang di deklarasikan ada 2 yaitu relatif dan tertinggi.
Kebenaran tertinggi berada diluar jangkauan intelek, Yang berada dalam jangkauan dinamakan kebenaran relatif.107

3.
Dengan mengingat hal ini, didunia ada dua tipe orang:
mereka yang memiliki pengetahuan yogic dan orang biasa.
Dalam hal ini, pandangan orang biasa selalu disangkal oleh para yogi.108

4.
(Sehubungan dengan perbedaan pengetahuan, yang berpengetahuan rendah selalu disangkal oleh yang lebih tinggi) melalui contoh-contoh yang bisa diterima oleh baik para yogi maupun orang biasa. Dan demi hasil, analisis dikesampingkan.

5.
Ketika orang biasa mencerap/melihat phenomena,
Mereka memandangnya sebagai nyata dan bukan illusif.
Hal ini kemudian menjadi topik perdebatan antara orang biasa dan para yogi.

6.
Objek seperti bentuk dan sebagainya yang kita cerap,
dinyatakan eksis dengan pengakuan umum, bukan lewat analisa yang valid.
Persepsi tersebut adalah salah, sebagaimana halnya pandangan umum yang menggangap hal – hal yang tidak bersih sebagai murni.

7.
[Keraguan] Orang biasa akan mengatakan bahwa
Sang Pelindung membabarkan tentang “eksistensi”.
Tetapi bahkan didalam kebenaran, tidak ada hal yang disebut keberlangsungan sesaat sekalipun.
Sekarang engkau mengatakan hal tersebut salah jika mengklaim bahwa keberlangsungan sesaat adalah kebenaran relatif.

8.
[Madhyamika] Tidak ada yang salah dalam keberlangsungan sesaat.
Bagai Para yogi, keberlangsungan sesaat adalah relatif,
sedangkan bagi orang biasa adalah yang tertinggi.
Jika terjadi sebaliknya, maka pandangan umum bisa menyalahkan pengetahuan dari para yogi sebagai ketidakmurnian jasmani

9.
[Keraguan] Bagaimana mungkin bisa muncul kebajikan dalam diri seorang Buddha jika seorang Buddha dikatakan hanyalah ilusi semata, jika Ia memang benar-benar eksis? jika para makhluk adalah ilusi, bagaimana mereka bisa terlahir kembali setelah mati?

10.
[Madhyamika]Sepanjang kondisi – kondisi berkumpul, ilusi – ilusi juga akan bertahan dan bermanifestasi.
Mengapa harus menganggap para makhluk tersebut itu lebih nyata hanya karena kumpulan kondisinya bertahan lama?

11.
[Yogacarin]: Jika seseorang membunuh atau melukai seorang makhluk ilusi, maka takkan ada karma buruk dalam membunuh seorang makhluk ilusi
[Madhyamika] Malah sebaliknya, jika seseorang yang masih terjerat oleh batin yang ilusif, maka konseksuensi karma buruk dan baik masih dapat muncul.

12.
[Yogacarin]: Batin yang ilusif tidak mungkin ada, seperti tidak ada kekuatan dalam hal-hal seperti mantra,
[Madhyamika] Aneka ragam ilusi itu muncul dari berbagai sebab – sebab. Jadi ilusi itu bermacam-macam

13.
Sebab yang tunggal tidaklah mungkin menghasilkan segalanya.
[Yogacarin]: “jika secara ultimit, para makhluk berada dalam nirvana”, kamu akan mengatakan “tetapi secara relatif, para makhluk berada dalam pusaran samsara,

14.
“Bahkan Para Buddha pun mengalami keadaan samsarik. Lantas apa gunanya “mengejar jalur Bodhisattva?”
[Madhyamika] Sepanjang tidak ada pemotongan arus sebab-akibat, maka tidak akan ada penghentian kondisi samsarik, bahkan termasuk tampilan/manifestasi ilusi.

15. [Yogacarin] Tetapi ketika arus sebab-akibat sudah diputuskan, bahkan yang namanya fenomena relatif tidak muncul.
“Jika bahkan “yang ditipu tidak ada”, Kamu akan bertanya, “Apakah itu” yang melihat ilusi?

16.
[Madhyamika] Seandainya jika bagi kamu, Aneka ragam ilusi yang sama tidak eksis,
Lantas apa yang eksis untuk di cerap?
[Yogacarin] Bila kamu mengatakan: Jika objek eksis dengan mode/cara yang lain,
“Maka keberadaannya itu hanyalah batin itu sendiri”

17.
[Madhyamika] Jika Fatamorgana adalah batin itu sendiri,
[Yogacarin] Lalu apa yang dipersepsi oleh apa?
[Madhyamika] Pembimbing Dunia sendiri telah menyatakan
batin tidak dapat dilihat oleh batin.

18.
[Madhyamika] Dengan cara yang sama, Beliau berkata,
Ujung pedang tidak bisa memotong pedang itu sendiri.
[Yogacarin] Seandainya engkau mengatakan, “Itu bagaikan nyala api
Yang secara sempurna menerangi dirinya sendiri.”

19.
[Madhyamika] Pada kenyatannya, Nyala api tidak pernah bisa menerangi dirinya sendiri.
Dan kenapa? Karena kegelapan tidak pernah membuatnya suram!
[Yogacarin] Engkau mengatakan “Sebuah objek yang pada dasarnya adalah warna biru tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk warna birunya, seperti halnya sebuah kristal, yang tidak bergantung pada hal lainnya.

20.
[Madhyamika] “Demikian juga beberapa persepsi
muncul dari hal-hal lainnya, sementara beberapa persepsi tidak demikian.”
Namun sesuatu yang pada dasarnya biru tidak pernah dengan sendirinya membubuhkan kebiruan pada diri yang bukan biru.

21.
[Yogacarin] Seandainya engkau mengatakan “Pelita menerangi dirinya sendiri”,
Batin bisa mengetahui dan menyimpulkan
Lantas “batin menerangi dirinya sendiri?” itu diketahui dan dikatakan oleh Apa?

22.
[Madhyamika] Batin tidak pernah dilihat oleh apapun.
Dan oleh karenanya, mendiskusikan apakah batin itu bisa mengetahui atau tidak oleh dirinya sendiri,
Ini hanya merupakan bahan diskusi yang tiada gunanya,
Seperti mendiskusikan kecantikan anak perempuan dari seorang wanita yang mandul.

23.
[Yogacarin] Tetapi jika engkau bertanya “batin tidak bisa mengetahui dirinya sendiri, bagaimana batin bisa mengingat apa yang sudah diketahuinya?”
[Madhyamika] Kami mengatakan bahwa, ingatan tersebut muncul Melalui hubungan dengan hal-hal / objek yang sudah dialami sebelumnya, seperti racun akibat gigitan tikus air.

24.
[Yogacarin] Dalam kasus-kasus tertentu, Engkau akan mengatakan,
“Batin bisa melihat batin makhluk lain, lalu mengapa batin tidak dapat melihat dirinya sendiri?
[Madhyamika] Tetapi dengan mengoleskan salep ajaib,
Mata mungkin melihat harta karun, tetapi salepnya tidak melihat harta karun tersebut.

25.
Sesungguhnya yang disangkal bukanlah
pengalaman pengalaman dari penglihatan, pendengaran atau mengetahui,
Tujuan kami disini adalah untuk mengakhiri sebab penderitaan,
pemikiran bahwa fenomena mempunyai eksistensi yang nyata.

26.
Jika engkau berkata: “ilusi itu tiada lain adalah batin itu sendiri,”
dan engkau tidak menganggapnya ilusi tidak sama dengan batin.
Bagaimana mungkin mereka tidak berbeda jika batin itu nyata (real)?
dan bagaimana batin itu nyata jika engkau menolak perbedaannya?

27.
Meskipun batin tidak nyata, fatamorgana dapat dilihat;
Dan apa yang melihat adalah sama tidak nyata.
[Yogacarin] Seandainya engkau berkata “Tetapi saṃsāra harus didasarkan pada sesuatu yang nyata,” “Jika tidak, maka samsara adalah seperti ruang kosong.”

28.
[Madhyamika] Tapi bagaimana mungkin “yang tidak nyata” bisa efektif secara kausal atau dapat berfungsi,
Meskipun bertumpu pada sesuatu yang nyata?
Batin yang engkau nyatakan berarti terisolasi dan bisa berdiri sendiri,
Sendiri, dalam keterasingan, dan tanpa pendamping / tanpa disertai apapun.

29.
Jika batin memang bebas dari objek,
Semua makhluk mestinya adalah Buddha, tathagata dan tercerahkan.
Oleh karena itu, apalah gunanya
mengatakan bahwa yang ada “Hanya batin semata”?

30.
“[Yogacarin] Bahkan jika kita tahu bahwa semua itu bagaikan ilusi,
Bagaimana ini bisa menghilangkan klesha / kekotoran batin?
Para pesulap mungin mempunyai nafsu keinginan terhadap
Wanita ilusi ciptaan mereka sendiri.

31.
[Madhyamika] itu disebabkan karena para pesulap belum menghilangkan
kebiasaan menginginkan objek yang dipersepsikan;
Dan ketika mereka melihat hal-hal demikian,
Pemahaman mereka mengenai shunyata memang lemah.

32.
Dengan melatih pemahaman akan shunyata ini,
Kebiasaan mempersepsikan hal-hal nyata akan melemah.
Dengan melatih pemikiran “Tidak ada yang benar – benar eksis”
Pandangan ini sendiri juga akan ditinggalkan.

33.
[Yogacarin] ketika dinyatakan “Tidak ada yang benar – benar eksis”,
Tidak ada “sesuatu” untuk dianalisa / diperiksa.
Bagaimana bisa “tidak ada yang benar – benar eksis”, yang mandiri
hadir sebelum batin yang dualistik ada?

34.
[Madhyamika] ketika keberadaan dan ketiada beradaannya,
keduanya tidak ada dalam batin,
Maka tidak ada pilihan lain yg bisa mungkin muncul:
Batin beristirahat sempurna, bebas dari konsep-konsep.

35.
Sebagaimana halnya permata pengabul harapan dan pohon pengabul keinginan
Yang memenuhi dan memuaskan semua harapan dan keinginan,
Demikian pula, Para Penakluk muncul secara fisik melalui doa-doa untuk murid-murid yang perlu dibimbing.

36.
Sebagai contoh: Altar / tempat penyembuhan Garuda,
yang bisa menyembuhkan dan menenangkan semua malapetaka dan racun,
Tetap dapat berfungsi selama berabad-abad,
walaupun orang yang membangunnya telah lama meninggal.

37.
Demikian juga setelah memperoleh “kemenangan dalam mengatasi penderitaan”
karena tindakan mereka demi mencapai kebuddhaan yang sempurna,
Meskipun Bodhisattva telahmelampaui semua dukkha,
Efek dari aktivitas mereka tetap muncul dan bermanifestasi demi manfaat semuanya.

38.
Jika engkau bertanya “Tetapi bagaimana mungkin persembahan diberikan kepada makhluk-makhluk yang terbebas dari segala keragu-raguan bisa membuahkan hasil?”
Dikatakan bahwa apakah Buddha hidup atau yang sudah Parinirvana,
Persembahan yang diberikan kepada mereka tetap menghasilkan jasa kebajikan yang setara.

39.
Baik dalam penegasan pandangan dari sisi ultimit atau relatif,
Menurut Kitab-kitab ajaran, jasa kebajikan akan muncul
Seperti halnya engkau memberikan persembahan kepada Buddha yang dianggap benar-benar nyata, akan menghasilkan jasa kebajikan.

40.
Engkau mengatakan, ” Kami telah terbebaskan dengan melihat secara langsung
(Empat) kebenaran mulia –
Apa gunanya bagi kami pandangan tentang keshunyataan ini?
Tetapi seperti yang tercantum dalam kitab-kitab ajaran
Tanpa Shunyata, tiada akan ada yang namanya pencerahan.

41.
Anda mengatakan bahwa Mahāyāna tidak memiliki kepastian / tidak valid.
Tapi bagaimana Anda membuktikan ajaran tradisi Anda sendiri?
Engkay akan mengatakan “Karena itu diterima oleh kedua belah pihak,”
Tetapi pada awalnya, Ajaran anda sendiri tidak memiliki bukti-bukti yang memadai!

42. Alasan mengapa Anda percaya pada tradisi Anda
Mungkin bisa juga diterapkan pada ajaran Mahāyāna.
Apalagi jika kesepakatan diterima sebagai kebenaran oleh kedua belah pihak,
Maka Ajaran-ajaran Veda dan yang lainnya juga menjadi benar.

43. Engkau mengatakan Ajaran Mahayana tidak benar karena diperdebatkan.”
Tetapi teks-teks Buddhis dipertanyakan oleh para ekstrimis / non buddhis,
Sementara Antar buddhis sendiri juga meragukan dan menolak ajaran tradisimu.
Itu berarti ajaran tradisimu mesti engkau tinggalkan juga.

44.
Bhikkhu sejati adalah akar dari Dharma,
Dan menjadi bhikkhu memang sulit.
Sulit bagi batin yang terjerat dalam pemikiran-pemikiran
Melampaui belenggu penderitaan.

45.
Anda mengatakan bawha ketika kekotoran batin sepenuhnya ditinggalkan
maka akan terjadi pembebasan seketika juga
Namun mereka yang telah terbebaskan dari dari kekotoran batin
masih terus berada dalam pengaruh karma.

46.
Engkau mengatakan “Itu hanyalah untuk sementara, karena mereka sendiri sudah tidak memiliki sebab (yg diakibatkan oleh hasrat/keinginan) untuk terlahir kembali.
Mereka tidak memiliki cengkraman yang disebabkan karena kekotoran batin,
Tetapi bagaimana bisa mereka tidak memilki nafsu keinginan yang tidak terkotori,sementara mereka masih memilki ketidaktahuan (kognitif)?

47.
Nafsu keinginan ini dihasilkan oleh sensasi,
Dan sensasi ini pasti ada dalam diri mereka.
Konsep masih melekat di batin mereka;
Dan pada konsep-konsep inilah mereka mencengkramnya.

48.
Seperti halnya mahkluk yang batinnya belum merealisasi keshunyataan,
yang terserap dalam absorpsi meditasi non-persepsi,
dimana batinnya berhenti sesaat, tetapi batin tersebut akan muncul kembali,
Oleh karena itu seseorang harus mempraktekkan keshunyataan.

49.
Jika semua yang tercatat dalam sutra-sutra
Anda anggap sebagai ucapan sempurna Sang Buddha,
Mengapa sekarang Anda tidak menerima sebagian besar Mahāyāna,
selaras secara sempurna dengan ajaran sutra-sutra tradisi Anda?

50.
Jika hanya karena satu elemen yang tidak sesuai,
Lalu seluruhnya dianggap keliru,
Lantas mengapa jika ada salah satu ajaran yang sesuai dengan ajaran sutra-sutra tradisi Anda,
Tidak menjadikan ajaran lainnya sebagai ajaran Buddha?

51.
Mahākāshyapa110 sendiri dan lainnya
Tidak dapat memahami kedalaman ajaran tersebut.
Oleh karena itu, siapa yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran ini harus ditolak
Hanya karena ajaran-ajaran tersebut tidak dapat dipahami oleh Anda?

52.
Tetap berada dan berdiam dalam saṃsāra,
Nanum bebeas dari setiap nafsu keinginan dan setiap ketakutan,
Demi memberikan manfaat bagi para makhluk yang menderita karena ketidaktahuan:
Itulah buah yang akan dihasilkan oleh keshunyataan.

53.
Oleh karena itu, engkau tidak akan menemukan
kesalahan dari pandangan tentang keshunyataan ini
Dengan demikian, tanpa keraguan sedikitpun,
Kita bermeditasi tentang keshunyataan.

54.
Obat penawar bagi klesha dan rintangan kognitif-
adalah keshunyataan.
Oleh karena itu, bagaimana mungkin Bagi yang ingin secepatnya mencapai kemahatahuan tidak bermeditasi akan keshunyataan?

55.
Apapun yang merupakan sumber penderitaan,
Jadikanlah sebagai objek ketakutan buat diri kita
Nanum keshunyataan akan menghilangkan setiap penderitaan kita,
Bagaimana mungkin itu bisa menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kita?

56.
Jika hal seperti “AKU” memang ada,
Kemudian secara pasti, ketakutan akan menyiksa kita.
Tetapi karena tidak ada diri atau “AKU” eksis sama sekali,
Apa lagi yang perlu ditakuti?

57.
Gigi, rambut, kuku bukanlah “Aku”,
Dan “Aku” bukanlah tulang atau darah,
Lendir dari hidung dan dahak bukanlah “Aku”,
Dan juga tidak terbuat dari getah bening atau nanah.

58.
“Aku” bukanlah lemak atau keringat tubuh,
Begitu pula paru-paru dan hati bukanlah “Aku.”
Organ-organ dalam juga bukan “Aku”,
Bukan pula air seni dan kotoran tubuh.

59.
Daging dan kulit bukanlah “Aku”,
Begitu juga dengan kehangatan dan pernapasan.
Rongga di dalam kerangka bukanlah “Aku”,
Dan “aku” bukan pula berada dalam enam jenis kesadaran.

60.
Jika kesadaran pendengaran bersifat permanen,
itu berarti, pendengaran akan berlangsung sepanjang waktu (suara akan terus terdengar).
Dan jika tidak ada objek, apa yang dikenali oleh kesadaran?
Atas dasar apa Anda menyebutnya kesadaran?

61.
Jika “sesuatu yang tidak sadar” mengetahui,
itu berarti tongkat juga bisa mengetahui.
Oleh karena itu,tanpa adanya hal atau objek yang perlu diketahui,
Jelaslah bahwa kesadaran tidak akan muncul.

62.
Jika kesadaran yang sama mendeteksi suatu bentuk,
Pada saat yang sama, mengapa kesadaran tersebut tidak bisa mendengar?
Mungkin Anda mengatakan suara sudah tidak ada lagi.
Jika demikian, maka juga tidak ada kesadaran akan suara (maka dengan demikian bisa disimpulan kesadaran pendengaran tidaklah permanen).

63.
Bagaimana mungkin sesuatu yang memiliki hakikat dasar penerima suara
bisa diubah menjadi mempersepsikan-bentuk?
Seandainya engkau mengatakan “Seorang pria lajang bisa menjadi putra dan ayah.”
Itu hanyalah sebatas penamaan; bukanlah hakikat yang sesungguhnya.

64.
Demikian juga “rasa sakit”, “netralitas”, dan “kesenangan”
Bukanlah mempunyai sifat seperti penamaan ayah atau anak;
Dan kita memang belum pernah mengalami
Kesadaran akan bentuk mempersepsikan suara.

65.
Engkau menjawab “Tapi seperti seorang aktor, kesadaran mengambil peran dan pandangan yang berbeda.”
Jika demikian, kesadaran ini bukanlah hal yang tidak berubah-rubah.
Dan Jika Kesadaran yang selanjutnya masih disebut sebagai kesadaran yang pertama,
Maka identitas tersebut menjadi kesadaran yang tunggal, tanpa apapun yang mendahuluinya.

66.
Seandainya engkau menjelaskan, “Tetapi kesadaran dengan berbagai mode / fungsinya yang berbeda-beda itu tidaklah nyata”
Kalau begitu, engkau harus menjelaskan tentang esensi dari kesadaran tersebut.
Anda mengatakan bahwa ini hanya mengetahui semata.
Dengan demikian, itu berarti semua makhluk adalah hal yang tunggal.

67.
Apa yang memiliki batin dan apa yang tidak memiliki batin
Keduanya adalah identik, karena keduanya sama-sama eksis.
Jika berbagai jenis batin semuanya tidak nyata,
Lalu, Landasan umum apa yang bisa dimiliki mereka?

68.
Sesuatu yang tidak memiliki batin, kita pegang sebagai bukanlah diri.
Oleh karena itu, yang tidak mempunyai batin disebut sebagai materi, seperti Vas.
“Tetapi engkau mengatakan diri tersebut memiliki kesadaran ketika berhubungan dengan batin”
Kemudian pernyataan ini sendiri menyangkal hakikat dari ketidaksadaran.

69.
Jika diri tidak dapat mengalami perubahan,
Maka perubahan apa yang dapat terjadi pada diri saat berhubungan dengan kesadaran?
Dan kita mungkin juga menegaskan bahwa
“diri” adalah sama seperti ruang kosong, batin yang tidak ada pergerakan dan kosong melompong.

70.
Engkau mengatakan “Jika diri tidak eksis,”
“Maka tidak ada hubungan yang terjalin antara perbuatan – perbuatan dengan akibat dari perbuatan.
Jika saat perbuatan itu dilakukan, pelakunya tidak ada lagi,
Lalu siapa yang akan menuai buah karma?”

71.
Landasan – landasan perbuatan dan buah tidaklah sama,
Dalam kedua kasus tersebut, diri tidak memiliki peran dalam ruang lingkup perbuatan.
Ini berlaku untuk anda dan kami;
Oleh karena itu, apa gunanya perdebatan kita?

72.
“Batasan sebab -sebab dan akibatnya”
Adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk dilihat.
Dan hanya dalam konteks sebuah aliran kesadaran yang tunggal
Bisa dikatakan orang yang melakukan perbuatan akan menuai buahnya dikemudian hari.

73.
Pemikiran – pemikiran telah berlalu, dan yang akan datang, bukanlah diri;
karena mereka tidak ada lagi atau belum eksis.
Jika pemikiran yang muncul sekarang adalah diri
Maka ia tidak tenggelam ketika yang terakhir memudar.

73.
Pikiran-pikiran yang telah berlalu dan pikiran-pikiran yang belum muncul,
Bukanlah diri karena pikiran-pikiran tersebut tidak eksis (saat ini)
Dan jika pikiran yang muncul sekarang adalah diri,
Maka saat pemikiran – pemikiran tersebut lenyap, diri akan lenyap juga.

74.
Misalnya, ambil contoh pohon pisang—
ketika dipotong sampai ke serat – serat, kita tidak menemukan apa pun.
Demikian pula melalui investigasi analitis
Tidak akan menemukan “Aku”, tidak ada diri yang hakiki.

75.
Seandainya engkau mengatakan “Jika makhluk tidak memiliki eksistensi,
Lalu siapa yang akan menjadi objek welas kasih?”
Terhadap mereka yang masih diliputi ketidaktahuan,
Demi merekalah, kami telah berjanji untuk mencapai pencerahan.

76.
Engkau bertanya “Jika tidak ada makhluk, lantas siapa yang akan memperoleh buah/hasil?”
Itu benar, karena aspirasi – aspirasi tersebut dilakukan atas dasar ketidaktahuan mereka!
Namun Tujuan akhir untuk menghilangkan penderitaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan secara total tidak semestinya ditolak.

77.
Sumber penderitaan adalah kesombongan dengan mengatakan “Aku,”
dan penderitaan tersebut disebabkan oleh cengkraman yang semakin meningkat dikarenakan kepercayaan yang palsu pada diri.
Untuk ini Anda mungkin percaya bahwa tidak mungkin kita dapat menghindari hal tersebut,
Cara terbaik adalah bermeditasi pada ketiadaan diri.

78.
Apa yang kita sebut tubuh bukanlah kaki atau tulang kering;
Begitu pula tubuh bukanlah paha atau pinggang.
Perut atau punggung bukanlah tubuh,
Dan tubuh bukanlah dada atau lengan.

79.
Tubuh bukanlah tulang rusuk atau tangan,
Ketiak, bahu, perut, atau organ dalam.
Tubuh bukanlah kepala atau tenggorokan;
Lalu, apakah “tubuh” ada di dalam semua ini?

80.
Jika “tubuh” itu menyebar
Dan ada pada sebagian anggota tubuh,
Bagian-bagiannya memang ada di bagian-bagian itu.
Lantas Di manakah “tubuh” itu sendiri berada / berdiam?

81.
Tetapi jika “tubuh” itu sendiri secara keseluruhan
Ada di tangan dan anggota tubuh lainnya,
Maka Anda akan menemukan jumlah “tubuh” yang sama banyaknya
dengan jumlah tangan dan lainnya.

82.
Jika “tubuh” tidak berada di luar atau di dalam bagian-bagiannya,
Bagaimana mungkin tubuh eksis di dalam tangan dan sebagainya?
Dan karena itu tidak lain adalah bagian-bagiannya,
Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa itu benar-benar eksis?

83.
Oleh karena itu, tidak ada yang namanya “tubuh.”
Gagasan Tubuh itu muncul karena ilusi,
Berkenaan / berhubungan dengan tangan dan bagian lain,
Sama seperti karena bentuknya yang spesifik
Setumpuk batu disalah-persepsikan sebagai seorang pria hanya karena tampak bagaikan seorang pria.

84.
Selama kondisi-kondisi terkumpul,
Tubuh akan tampak seperti seorang pria.
Begitu pula, Selama semua bagian juga ada,
Maka akan ada penampakan suatu tubuh.

85.
Demikian juga, karena terdiri dari kumpulan jari-jari,
Tangan itu sendiri tidaklah eksis sebagai suatu kesatuan tunggal.
Dan begitu pula jari-jari terdiri dari ruas-ruas dan sendi—
Dan ruas-ruas dan sendi itu sendiri terdiri dari banyak bagian.

86.
Bagian-bagian ini sendiri akan terurai menjadi partikel-partikel,
Dan partikel-partikel terbelah lagi menurut arah.
Fragmen-fragmen ini juga tidak memiliki bagian-bagian yang tidak bisa dibagi lagi; mereka seperti ruang.
Jadi bahkan partikel – partikel tidak memiliki eksistensi.

87.
Oleh karena, semua wujud adalah seperti mimpi,
Dan bagi mereka yang menganalisanya, bagaimana mungkin mereka akan terbelenggu pada wujud?
Dengan cara ini, tubuh tidak memiliki eksistensi;
Oleh karena itu, apa itu pria dan apa itu wanita?

88.
Jika penderitaan itu sendiri benar-benar nyata,
Mengapa sukacita tidak sepenuhnya padam bersamanya?
Jika kesenangan itu nyata, lalu mengapa kesenangan itu terasa
Tidak membuat nyaman dan menghibur orang yang sedang menderita?

89.
Jika perasaan gagal untuk dialami,
Dengan diliputi oleh sesuatu yang lebih kuat,
Lalu bagaimana mungkin Sesuatu yang tidak dirasakan (kurangnya karakteristik yang dirasakan) masih bisa dikategorikan sebagai “Perasaan”?

90.
Mungkin Anda mengatakan bahwa hanya rasa sakit halus yang tersisa,
karena bentuknya yang lebih kasar sekarang telah teratasi—
Atau sebaliknya, dirasakan sebagai “kesenangan belaka.”
Tapi apa yang lebih halus masih tetaplah ada.

91.
Jika, karena kondisi-kondisi yang berlawanan eksis,
Ketidaknyamanan gagal termanifestasi,
Bukankah itu menegaskan bahwa itu adalah “perasaan”
itu hanyalah imputasi mental (produk dari batin konseptual)?

92.
Karena demikian, maka obat penawarnya
Adalah meditasi dan analisa.
Absorpsi dihasilkan dari penyelidikan
Memang merupakan makanan dan nutrisi bagi

93.
Jika ada interval di antara kekuatan indra dan objeknya
Ada ruang, bagaimana keduanya itu bertemu?
Dan jika tidak ada ruang, maka keduanya akan merupakan satu kesatuan,
dengan demikian, apa yang bertemu dengan apa?

94.
Partikel-partikel tak dapat saling penetrasi,
Karena partikel-partikel adalah setara dalam hal kekurangan ruang kosong.
Namum jika mereka tidak dapat saling menembus, mereka tidak akan bisa bergabung;
Dan jika mereka tidak bisa bergabung, maka tidak ada titik temu.

95.
Lebih lanjut, bagaimana orang bisa menerima
bahwa sesuatu yang tidak mempunyai bagian bisa dikatakan bertemu?
Dan Anda harus menunjukkan kepada saya, jika Anda pernah melihat,
Kontak yang terjadi antara dua hal yang tidak mempunyai bagian

96.
Kesadaran tidaklah bersifat material,
Oleh karena itu, tidaklah bisa dikatakan terjadi kontak (yang bersifat materi) dengan yang tidak bersifat material.
Sebuah kumpulan juga tidak memiliki realitas,
Seperti yang telah kami tunjukkan sebelumnya.

97.
Oleh karena itu, jika tiada sentuhan maupun kontak,
Dari mana perasaan itu muncul?
Lalu, apa tujuan dari semua jerih payah kita jika perasaan itu tidak eksis,
jenis penderitaan apa yang menyiksa siapa?

98.
Karena tidak ada subjek untuk sensasi,
Dan sensasi, juga, tidak memiliki semua eksistensi,
Lalu Bagaimana nafsu keinginan tidak diredakan
Lalu ketika semua ini dipahami dengan jelas?
Mengapa engkau tidak berhenti sejenak dan berpaling dari cengkeraman?

98.
Karena tiada subjek (eksis secara hakiki) yang merasakan,
Dan sensasi (vedana) juga tidak bersifat hakiki,
Lalu ketika engkau mengerti hal ini dengan jelas,
bagaimana mungkin cengkraman tidak mereda?

99.
Apa yang kita lihat dan apa yang kita sentuh
Adalah bagaikan mimpi dan fatamorgana.
Perasaan tak dapat dicerap oleh
Kesadaran yang muncul bersamaan dengannya.

100.
Jika salah satu muncul lebih dulu (apakah itu perasaan dulu atau kesadaran duluan), maka yang lain akan muncul belakangan,
Maka itu adalah memori, bukanlah sensasi yang langsung dialami.
Sensasi tidak dapat mengalami dirinya sendiri
Dan juga, sensasi tak dapat dialami oleh sesuatu yang lain.

100.
Dan meskipun sensasi (vedana) sebelumnya dapat diingat oleh sensasi yang muncul kemudian,
Sensasi sebelumnya tak dapat dialami (oleh sensasi sekarang).
(Secara singkat, suatu sensasi) tak dapat mengalami dirinya sendiri
Dan itu menjadi kontradiksi jika mengatakan sensasi tak dapat dialami oleh sesuatu yang lain.

101.
Subjek yang merasakan sensasi tidak memiliki eksistensi yang nyata,
Demikian juga sensasi, tidak memiliki eksistensi.
Dengan demikian, kerusakan apa yang dapat ditimbulkan oleh skhanda sensasi—
tidak memiliki diri?

102.
Batin tidak berada di dalam indera,
Batin tidak berada diluar juga, misalnya dalam wujud (rupa).
Batin juga tidak berada atau bersemayam di antaranya:
Batin tidak beraada diluar, tidak berada di dalam, tidak dapat ditemukan dimanapun juga.

103.
Batin tidak ada pada tubuh maupun dimanapun juga,
tidak menyatu dengan tubuh maupun terpisah darinya –
Sesuatu yang demikian tidak eksis sama sekali bahkan sedikit pun.
Para makhluk pada dasarnya bberada di luar jangkauan penderitaan.

104.
Jika kesadaran mendahului objek yang dikenali,
sehubungan dengan objek apakah kesadaran ini dihasilkan?
Jika kesadaran muncul pada saat yang sama dengan objeknya,
Sekali lagi, sehubungan dengan objek apakah kesadaran ini dihasilkan?

105.
Jika kesadaran muncul setelah objeknya,
Sekali lagi, dari apa kesadaran ini muncul?
Demikianlah asal mula semua fenomena
Melampaui jangkauan pemahaman intelek.

106.
Engkau mengatakan “Jika demikian, tidak ada yang namanya kebenaran relatif,
Lalu mengapa ada dua kebenaran?
Terlebih lagi, jika kebenaran relatif itu berasal dari batin para makhluk,
Lantas bagaimana caranya mereka bisa melampaui penderitaan mereka?”

107.
Kebenaran relatif ini hanyalah pemikiran para makhluk yang lainnya;
Ini bukanlah kebenaran relatif dari yang kami maksud.
Jika kemudian ada pemikiran yang muncul, maka kebenaran relatif masih eksis,
Jika tidak, maka kebenaran relatif menjadi terhenti/lenyap.

108.
Batin yang menganalisis dan apa yang dianalisis
Keduanya saling berhubungan, saling bergantung satu sama lainnya.
Adalah berdasarkan konsensus konvensional itulah
Bahwa semua penyelidikan diungkapkan.

109.
Engkau mengatakan,
“Tetapi jika proses analisa kemudian juga diaplikasikan pada objek pengamatan,
Maka penyelidikan ini pun dapat dianalisa,
Dan dengan demikian kita menemukan regresi tak terhingga.”

110.
Jika fenomena benar-benar dianalisis,
Tidak ada landasan yang tersisa untuk analisis.
Dan ketika objek dihilangkan, subjek juga mereda.
Itulah yang disebutkan sebagai nirvāṇa.

111.
Mereka yang mengatakan bahwa keduanya benar,
Benar-benar sulit mempertahankan cara pandang tersebut.
Jika kesadaran menyingkap kebenaran dari berbagai hal,
Maka atas dasar apa mengatakan bahwa kesadaran itu eksis?

112.
Jika objek pengetahuan menunjukkan bahwa kesadaran itu eksis,
Lantas Apa yang menunjukkan bahwa objek – objek itu eksis?
Jika keduanya eksis melalui kesaling ketergantungan,
maka keduanya kehilangan eksistensi sejatinya.

113.
Jika, tanpa seorang anak, seorang pria tidak bisa disebut ayah,
Lalu, darimana munculnya seorang anak?
Tidak ada ayah jika tidak ada anak.
Demikian pula, batin dan objek tidak memiliki eksistensi sejati.

114.
Engkau mengatakan “Tanaman muncul dari benihnya,
“Dan melaluinya benih itu dideduksi.
Ini sama halnya dengan kesadaran yang muncul dari objeknya.
Bagaimana tidak bisa disimpulkan sebagai eksistensi suatu hal?”

115.
Jika Kesadaran berbeda dari tanaman itu sendiri
Dapat disimpulkan bahwa benih eksis.
Lalu berdasarkan apa, dapat disimpulkan bahwa
kesadaran akan objek itu eksis,

116.
Dalam persepsi sehari-hari
Segala sesuatu mempunyai sebab.
Berbagai bagian yang berbeda dari bunga teratai
Timbul dari beraneka ragam sebab – sebab.

117.
Engkau bertanya: “Tetapi apa yang menimbulkan keaneka ragaman penyebab tersebut?”
Dari berbagai penyebab yang bahkan lebih awal.
Engkay bertanya “Dan bagaimana penyebab – penyebab memberikan buahnya?”
Melalui kekuatan penyebab – penyebab sebelumnya.

118.
Jika Ishvara dianggap sebagai penyebab munculnya para makhluk,
Engkau sekarang harus mendefiniskan hakikatnya kepada kami.
Jika engkau mengatakan Ishvara adalah elemen-elemen,
Lalu buat apa menghabiskan waktu hanya untuk memperdebatkan nama-nama /label – label?

119.
Namun, elemen tanah dan elemen-elemen lainnya adalah banyak,
Berubah-ubah, lembam, dan tanpa keilahian;
Diinjakinjak dan tidak murni,
Dan dengan demikian, elemen-elemen tersebut tak mungkin adalah Ishvara Yang Maha Kuasa.

120.
Ishvara tidak mungkin adalah ruang, karena ruang itu lembam dan tidak produktif.
Ishvara tidak mungkin adalah diri, karena ini telah kami sangkalh.
Bahkan dikatakan bahwa Ishavara adalah tidak terbayangkan —begitu juga dengan hasil ciptaannya.
Oleh karena itu, apa gunanya membicarakan klaim tentang sesuatu yang tak terbayangkan?

121.
Apa yang ingin Ishvara ciptakan?
Apakah Ishvara telah menciptakan ‘diri’ dan semua elemen-elemen?
Tetapi bukankah ‘diri,’ elemen-elemen serta dirinya sendiri bersifat kekal?
Dan kita tahu kesadaran muncul dari objek yang dikenalinya.

122.
Sejak masa tak berawal, penderitaan dan kebahagiaan muncul dari karma,
Jadi katakan pada kami, apa yang Ishvara ciptakan?
Dan jika tiada sebab awal,
Bagaimana mungkin ada akibat yang pertama?

123.
Mengapa makhluk tidak diciptakan terus-menerus,
Jika Ishvara tidak bergantung pada apa pun selain dirinya sendiri?
Dan jika tiada satu hal pun yang yang bukan diciptakan olehnya,
Lalu tergantung pada apa ia mencipta?

24.
Jika Ishvara tergantung pada adanya sebab-sebab dan kondisi-kondisi tertentu,
Maka itu hanyalah pertemuan kondisi-kondisi, dan bukan Ishvara penyebabnya:
Karena ketika sebab-sebab dan kondisi-kondisi ada, Ishvara tak mempunyai daya untuk tidak mencipta,
Dan tanpa sebab-sebab dan kondisi-kondisi, Ishvara tak mempunyai daya untuk mencipta.

125.
Jika Ishvara Yang Maha Kuasa tidak berkehendak,
Itu berarti, ia berada di bawah kendali sesuatu yang lain.
Jika dia ingin mencipta, dia terombang-ambing oleh keinginannya.
Lalu dimana daya Ishvara yang Maha Kuasa?

126.
Mereka yang memegang pandangan bahwa partikel – partikel adalah kekal
sudah disangkal sebelumnya.
Para Sāṃkhya adalah orang-orang yang memegang
Prakṛiti (partikel- partikel) permanen itu adalah penyebab dari berkembangnya dunia.

127.
(Bagi para Samkhya), “Kesenangan”, “rasa sakit”, “netralitas”,
adalah kualitas kualitas dimana, ketika berada dalam keseimbangan.”
disebut sebagai Prakṛiti.
Alam semesta muncul ketika keseimbangan ini terganggu.

128.
Tiga hakikat dalam satu kesatuan adalah tidak logis,
Maka dengan demikian prakṛiti adalah tanpa eksistensi.
Tiga Kualitas tersebut juga tidak eksis,
Karena setiap elemen juga memiliki tiga kualitas tersebut.

129.
Jika kualitas-kualitas tersebut tidak ada eksistensi,
Maka hal seperti suara menjadi tidak masuk masuk akal!
Dan kain dan benda-benda tak mempunya batin
Tidak bisa menjadi landasan perasaan seperti “kesenangan”.

130.
Engkau berkata “Tetapi hal-hal ini memiliki sifat dari penyebabnya.”
Tapi bukankah kita sudah menyelidiki “sesuatu” tersebut sebelumnya?
Bagi Anda penyebabnya adalah “kesenangan” dan sejenisnya,
Namun kain tak pernah berasal dari “kesenangan”.

131.
Dan jika “kesenangan” dan sebagainya berasal dari kain dan sebagainya,
Maka tanpa adanya kain, “kesenangan” dan sebagainya, tidak akan ada.
Lebih lanjut, “Kesenangan”, “rasa sakit”, “netralitas” yang kekal –
tidak bermanifestasi, itu adalah suatu hal yang tidak pernah diamati!

132.
Jika kesenangan dan sisanya bermanifestasi,
Kenapa mereka tidak dialami terus menerus?
Dan jika engkau mengklaim mereka berubah ke bentuk yang halus,
Bagaimana mereka bisa sekaligus berubah menjadi kasar dan halus?

133.
Jika bentuk kasarnya hilang dan berubah menjadi halus,
Maka perubahan tersebut menunjukkan ketidak kekalan.
Lalu dengan demikian, mengapa tidak menerima
Bahwa segala sesuatu mempunyai kareakteristik berubah-ubah?

133.
Jika kekasaran ditinggalkan, kehalusan diasumsikan,
Kehalusan dan kekasaran keduanya tidak memiliki keabadian.
Jadi mengapa tidak mengabulkannya, dengan cara ini,
Semua hal memiliki karakter sementara?

134.
Jika aspek yang lebih kasar itu tidak lain adalah kesenangan,
Jelas bahwa kesenangan itu sendiri tidak kekal.
Seandainya engkau mengklaim bahwa apa yang tidak eksis sama sekali
(Karena tidak memiliki wujud) tidak dapat bermanifestasi,

135.
Meskipun Anda telah menyangkal kelahiran hal-hal
Tidak eksis sebelumnya, inilah yang sekarang Anda katakan!
Tetapi jika hasil itu eksis dalam penyebabnya,
Maka mereka yang makan makanan mereka, bisa diartikan mengkonsumsi kotoran mereka.

136.
Dan begitu pula, lebih baik mereka membeli biji kapas untuk dipakai daripada menghabiskan uang untuk membeli pakaian,
engkau mengatakan “Tetapi dunia ini penuh dengan ketidaktahuan dan buta.
Karena alasan inilah, diajarkan oleh ‘mereka yang mengetahui kebenaran.”

137.
Maka pengetahuan mengenai hal tersebut mestinya juga eksis bagi orang-orang biasa,
Lalu mengapa mereka tiak melihatnya?
Seandainya engkau menjawab, “Itu karena orang-orang biasa tak memiliki persepsi yang valid (untuk hal tersebut).”
Ini berarti bahwa apa yang mereka lihat dengan jelas adalah keliru.

138.
“Jika,” Anda bertanya, “tidak ada validitas dalam pengetahuan yang valid,
Bukankah semua yang dinilainya salah?
Dan karena itu menjadi tidak bisa dipertahankan
Untuk bermeditasi pada sunyata, realitas tertinggi.”

138.
Seandainya engkau bertanya,
“Jika tidak ada validitas dalam pengetahuan yang valid,
maka bukankah apa yang dinilainya menjadi keliru,
Dan dengan demikian, untuk bermeditasi pada keshunyataan, kebenaran tertinggi
menjadi tidak bisa dipertahankan / keliru

139.
Jika tidak ada objek untuk dianalisis,
Maka tiada cengkeraman atas ketidak eksistensian.
Dan objek yang menipu dalam bentuk apa pun
Juga akan memiliki ketidak eksistensian sama-sama menipu.

140.
Oleh karena itu, ketika dalam mimpi, seorang anak meninggal,
Keadaan batin yang menganggapnya anak tersebut tidak ada lagi
Akan menggantikan pemikiran bahwa ia masih hidup.
Namun demikian, kedua pemikiran tersebut sama-sama menipu.

141.
Oleh karena itu, seperti yang kita lihat melalui penyelidikan tersebut,
Tidak ada yang tidak memiliki sebab;
Dan tidak ada yang eksis dalam sebab-sebabnya
Baik satu persatu maupun secara agregat.

142.
Namun, itu juga tidak berasal dari sesuatu yang lain,
Juga tidak menetap atau tiada yang hilang.
Bagaimana kebingungan menganggapnya sebagai kebenaran?
Apa bedanya dari suatu fatamorgana?

142.
Namun, itu juga tidak berasal dari sesuatu yang lain,
Dan tiada yang tetap, dan tiada yang hilang.
Jadi apapun citta yang salah mengerti ini, anggap sebagai bersifat hakiki,
Apa bedanya dengan suatu ilusi?

143.
Dengan demikian, kita seharusnya bertanya: sesuatu yang diwujudkan dengan mantra sihir,
Dan sesuatu yang termanifestasi oleh sebab-sebab:
Dari manakah semua ini muncul?
Dan kita harus memeriksa: Ke manakah semua itu pergi?

144.
Apapun yang terlihat ketika bertemunya kondisi-kondisi
Dan ketika kondisi-kondisi tidak ada,
Adalah tidak nyata seperti bayangan di cermin;
Bagaimana mungkin eksistensi yang nyata dapat dianggap berasal darinya?

145.
Buat apa sesuatu yang sudah nyata
membutuhkan sebab?
Sesuatu yang tidak eksis sama sekali –
Sekali lagi, bukankah itu juga tidak membutuhkan sebab?

146.
Bahkan melalui seratus juta penyebab,
Tidak akan ada perubahan yang terjadi pada hal-hal yang tidak ada,
Karena dalam keadaan “bukan-benda” itu, bagaimana mungkin “benda-benda / fenomena” terjadi?
Dan bisa menjadi apa “sesuatu yang tidak memiliki eksistensi” bertransfromasi?

147.
Karena hal-hal tidak bisa menjadi eksis ketika mereka tidak ada,
Kapan bisa muncul menjadi suatu eksistensi?
Karena selama entitas-entitas tidak muncul,
Non-entitas sendiri tidak akan hilang.

148.
Dan jika nonentitas tidak hilang,
Tidak ada kesempatan bagi entitas untuk bermanifestasi.
Dan entitas tidak dapat diubah menjadi nonentitas,
Karena jika demikian, itu berarti ia memiliki hakikat ganda.

149.
Dengan demikian, tidak ada entitas
Dan juga tidak ada pelenyapan entitas.
Dan karena itu, para makhluk, masing-masing dan setiap individu,
Adalah tanpa asal dan tidak pernah lenyap.

150.
Para Makhluk yang mengembara dalam samsara, bagaikan mimpi,
juga bagaikan pohon pisang, jika dicermati dengan baik.
Pada kenyataannya tidak ada yang perbedaan
antara keadaan kesedihan dan melampaui semua kesedihan.

151.
Dengan cara seperti ini, hal-hal adalah bersifat kosong
Apakah ada sesuatu yang diperoleh;
Apakah ada sesuatu yang hilang?
Siapa di sana akan memberi saya keadilan dan kehormatan,
Siapa yang ada di sana mencemooh dan mencaci saya?

152.
Kesenangan, kesedihan— dari mana semua ini muncul?
Apa yang bisa memberi saya kebahagiaan dan penderitaan?
Dan jika saya mencari hakikat dasar mereka,
Siapa yang mencengkeram, apa yang ada untuk dicengkeram?

153.
Analisalah dunia para makhluk ini sekarang:
Siapakah yang meninggal di sana ?
Apakah yang muncul, dan apakah yang telah ada?
Dan siapakah yang merupakan sanak saudara dan teman-teman?

154.
Semoga makhluk seperti saya melihat dengan jelas dan memahami
Bahwa segala sesuatu memiliki karakter seperti ruang!
Tetapi mereka yang mencari kebahagiaan dan kemudahan,
Melalui perselisihan atau kesenangan,

155.
Semuanya terperangkap dalam masalah, baik itu senang dengan sukacita.
Mereka menderita, berjuang, bersaing satu sama lainnya,
Memotong, menusuk, melukai satu sama lain:
Mereka menjalani hidup mereka diliputi perbuatan buruk dan penderitaan.

156.
Dari waktu ke waktu mereka terlahir di alam kebahagiaan,
Mengalami berbagai macam kesenangan.
Setelah kematian, mereka terjatuh ke alam-alam rendah
Dan mengalami penderitaan yang tak tertahankan untuk jangka waktu yang sangat lama.

157.
Dalam alam eksistensi, terdapat banyak jurang (dimana kita bisa terjatuh),
Disana kebenaran hakiki sangat sulit ditemukan.
Yang ada semuanya hanyalah kontradiksi, penyangkalan;
Hakikat realita di dunia ini tidak seperti ini.

158.
Di sini, melampaui semua deskripsi,
terdapat lautan penderitaan tak terbandingkan dan tak tertahankan.
Kekuatan untuk menyempurnakan kebajikan sangatlah rendah,
Dan rentang kehidupan berkedip-kedip dan sangatlah singkat.

159.
Segala aktivitas dilakukan demi kehidupan dan kesehatan,
Demi menghilangkan kelaparan dan kelelahan,
Waktu dihabiskan untuk tidur, dipenuhi bencana dan cedera,
Dan persahabaran tak berguna dengan orang-orang yang kekanak-kanakan.

160.
Demikianlah hidup berlalu dengan cepat, tanpa makna.
Kebijaksanaan membeda-bedakan yang sejati—sulit untuk dimiliki!
Lalu bagaimana kita dapat menemukan cara
Untuk menghilangkan batin yang suka mengembara dengan sia-sia?

161.
Lebih lanjut, energi-energi negatif begitu kuat
Untuk melemparkan kita ke alam-alam rendah;
Karena ada begitu banyak jalan yang menipu
Dan sulit untuk menghilangkan keraguan kita.

162.
Sungguh sulit mendapatkan keadaan bebas ini,
Lebih sulit lagi menemukan Guru-guru yang tercerahkan,
Sungguh sulit meninggalkan arus klesha!
Aduh, penderitaan kita jatuh dalam aliran yang tak ada habisnya!

163.
Sayangnya memang makhluk hidup itu,
Dibawa pada banjir rasa sakit yang pahit,

163.
Sungguh menyedihkan para makhluk,
Terbawa oleh banjirnya arus penderitaan,
Betapapun mengerikan penderitaan mereka,
Tetapi mereka tidak melihatnya walau mereka begitu menderita!

164.
Mereka seperti orang yang mandi berulang-ulang
Dan kemudian melanjutkan untuk menghanguskan diri mereka sendiri dengan api.
Mereka sangat menderita dengan cara ini,
Namun mereka tetal tinggal disana, dengan lantangnya menyatakan kebahagiaan mereka.

165.
Demikian juga ada beberapa yang hidup dan bertindak
Seolah-olah usia tua dan kematian tidak akan menghampiri mereka.
Namun ketika kehidupan berakhir,
Mereka terjatuh ke alam-alam yang mengerikan dan dalam keadaan kehilangan.

166.
Kapan saya bisa meredakan dan memuaskan
Panasnya api penderitaan yang mengerikan
Dengan limpahan hujan kebahagiaanku sendiri
Yang tercurahkan dari kumpulan derasnya dari awan jasa kebajikan saya?

167.
Kekayaan jasa kebajikan saya yang terkumpul,
Dengan hormat tetapi tanpa cengkraman konseptual,
Kapan saya akan mengungkapkan kebenaran keshunyataan ini
untuk mereka yang menuju kehancuran karena percaya pada eksistensi yang nyata?

107. Orang Tibet biasanya menggunakan dua ekspresi untuk merujuk pada kebenaran relatif: kun rdzob dan tha snyad. Meskipun sering digunakan
bergantian sebagai sinonim, istilah-istilah ini memiliki konotasi yang sedikit berbeda. Kun rdzob kyi bden pa secara harfiah berarti “penyembunyian segalanya
kebenaran.” Ini mengacu pada fenomena seperti yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dan fakta bahwa penampilan mereka (sebagai entitas yang ada secara independen) menyembunyikan sifat sejati mereka (yaitu, kekosongan mereka dari makhluk independen dan intrinsik). hal-hal dan situasi yang dihadapi dalam hidup diterima sebagai asli dalam konsensus umum (sebagai kontras dengan ilusi magis, fatamorgana, dll), mereka adalah “benar”, tetapi hanya relatif begitu, karena cara mereka muncul tidak sesuai dengan status mereka yang sebenarnya.

Oleh karena itu kami secara sistematis menerjemahkan kun rdzob kyi bden pa sebagai “kebenaran relatif.” Tha snyad, sebaliknya, berarti “nama,”
“ekspresi konvensional.” Tha snyad kyi bden pa (yang telah kami terjemahkan sebagai “kebenaran konvensional”) mengacu pada fenomena sejauh mereka dapat dipahami oleh batin yang biasa dan dibicarakan dalam batas-batas wacana konvensional.

108. Ini mengacu pada para pemikir dan praktisi Buddhis yang dengan berbagai tingkat keberhasilan telah memperoleh pemahaman tentang status fenomena yang sebenarnya. Dalam hal lima jalur, yang dalam agama Buddha digunakan untuk memetakan kemajuan batin menuju pencapaian kemahatahuan atau pencerahan sempurna, para yogi yang bersangkutan berada pada yang pertama dan kedua, yaitu, “akumulasi” dan “penggabungan.” Mereka belum mencapai jalan melihat, di mana batin menikmati pengalaman langsung dari kekosongan fenomena, pada titik mana dikatakan melampaui dunia, yaitu, samsara Karena meskipun para yogi di jalur melihat belum mencapai Kebuddhaan, mereka tidak akan pernah bisa jatuh kembali ke kehidupan samsara.

109. Menurut kitab komentar Sansekerta Prajñākaramati, bait 49 sampai 51 telah salah penempatan dan tidak dalam posisi yang benar. Menurut komentar Gyalse Thogme Zangpo, mereka dapat disisipkan di antara ayat 43 dan 44. Di sini kita telah mengikuti penempatannya Kunzang Pelden dan Mipham Rinpoche.

110. Mahākāshyapa menjadi, setelah parinirvāṇa Buddha, pemimpin Saṅgha dan memainkan peran penting dalam pelestarian ajaran.

 

Bodhicaryāvatāra Chapter 9

9
Wisdom


1.
All these branches of the Doctrine
The Enlightened Sage expounded for the sake of wisdom.106
Therefore they must cultivate this wisdom
Who wish to have an end of suffering.

2.
Relative and ultimate,
These the two truths are declared to be.
The ultimate is not within the reach of intellect,
For intellect is said to be the relative.107

3.
In light of this, within the world, two kinds of people are observed:
Those with yogic insight and the common run of people.
In this regard, the views of ordinary folk
Are undermined by yogis who themselves are in the world108

4.
(Within whose ranks
The lower, in degrees of insight, are confuted by the higher)
By means of the examples that the yogis and the worldly both accept.
And for the sake of the result, analysis is left aside.

5.
When ordinary folk perceive phenomena,
They look on them as real, and not illusory.
This, then, is the subject of debate
Where ordinary and yogis differ.

6.
Forms and so forth, which we all perceive,
Exist by general acclaim but not by valid reasoning.
They’re false just like, for instance, unclean things
Regarded in the common view as pure.

7.
But that he might instruct the worldly,
Our Protector spoke of “things.”
But these in truth lack even momentariness.
Now if you say it’s wrong to claim the momentary as relative,

8.
There is no fault. For momentariness
Is relative for yogis, but for worldly beings, ultimate.
Were it otherwise, the common view
Could fault the yogic insight into corporal impurity.

9.
“Through a Buddha, who is but illusion, how does merit spring?”
As if the Buddha were existing truly.
“But,” you ask, “if beings are like illusions,
How, when dying, can they take rebirth?”

10.
As long as the conditions are assembled,
Illusions, likewise, will persist and manifest.
Why, through simply being more protracted,
Should sentient beings be regarded as more real?

11.
If one kills or harms the magical illusion of a man,
There is no mind in such a thing and therefore there’s no sin.
But beings do indeed have mirage-like minds;
Sin and merit will, in consequence, arise.

12.
There is no power in things like spells,
So mirage-like minds do not occur through them.
Illusions spring from various causes;
Thus illusions are of different kinds.

13.
A single cause for everything
There never was!
“If ultimately, beings are in nirvāṇa,” you will say,
“But relatively circle in saṃsāra,

14.
“Even Buddhahood reverts to the saṃsāric state.
So why,” you ask, “pursue the Bodhisattva path?”
As long as there’s no cutting of the causal stream,
There is no halting even of illusory displays.

15.
But when the causal stream is severed,
Even relative phenomena do not appear.
“If even that which is deceived does not exist,
What is it,” you will ask, “that sees illusion?”

16.
But if, for you, these same illusions have no being,
What, indeed, is there to be perceived?
“But objects have another mode of being,” you will say,
“That very mode is but the mind itself.”

17.
But if the mirage is the mind itself,
What is then perceived by what?
The Guardian of the World himself has said
That mind cannot be seen by mind.

18.
In just the same way, he has said,
The sword’s edge cannot cut the sword.
“But,” you say, “it’s like the flame
That perfectly illuminates itself.”

19.
The flame, in fact, can never light itself.
And why? Because the darkness never dims it!
“The blueness of a thing by nature blue,” you say,
“Depends, unlike a crystal, upon nothing else.

20.
“Likewise some perceptions
Come from other things, while some do not.”
But something that’s by nature blue has never of itself imposed
A blueness on its non-blue self.

21.
The phrase “The lamp illuminates itself”
The mind can know and formulate.
But what is there to know and say
That “mind is self-illuminating?”

22.
The mind, indeed, is never seen by anything.
And therefore, whether it can know, or cannot know, itself,
Is like the beauty of a barren woman’s daughter:
Something that it’s pointless to discuss.

23.
“But if,” you ask, “the mind is not self-knowing,
How does it remember what it knew?”
We say that, like the poison of the water rat,
It’s through the link with things experienced that memory occurs.

24.
“In certain cases,” you will say, “the mind
Can see the minds of others, how then not itself?”
But through the application of a magic balm,
The eye may see the treasure, but the salve it does not see.

25.
It’s not indeed our purpose to disprove
Experiences of sight or sound or knowing.
Our aim is here to undermine the cause of sorrow:
The thought that such phenomena have true existence.

26.
“Illusions are not other than the mind,” you say,
And yet you don’t consider them the same.
How could they not be different if the mind is real?
And how can mind be real if you deny a difference?

27.
Although it is unreal, a mirage can be seen;
And that which sees is just the same.
“But saṃsāra must be based on something real,” you say,
“Or else it is like empty space.”

28.
But how could the unreal be causally effective,
Even if it rests on something real?
This mind of yours is isolated and alone,
Alone, in solitude, and unaccompanied.

29.
If the mind indeed is free of objects,
All beings must be Buddhas, Thus-Gone and enlightened.
And so, what purpose can there be
In saying thus, that there is “Only Mind”?

30.
“Even if we know that all is like illusion,
How,” you ask, “will this dispel afflictive passion?
Magicians may indeed themselves desire
The mirage-women they themselves create.”

31.
The reason is they have not rid themselves
Of habits of desiring objects of perception;
And when they gaze upon such things,
Their aptitude for emptiness is weak indeed.

32.
By training in this aptitude for emptiness,
The habit to perceive real things will be relinquished.
By training in the thought “There isn’t anything,”
This view itself will also be abandoned.

33.
“There is nothing”—when this is asserted,
No thing is there to be examined.
How can a “nothing,” wholly unsupported,
Rest before the mind as something present?

34.
When something and its nonexistence
Both are absent from before the mind,
No other option does the latter have:
It comes to perfect rest, from concepts free.

35.
As the wishing jewel and tree of miracles
Fulfill and satisfy all hopes and wishes,
Likewise, through their prayers for those who might be trained,
The physical appearance of the Conquerors occurs.

36.
The healing shrine of the garua,
Even when its builder was long dead,
Continued even ages thence
To remedy and soothe all plagues and venom.

37.
Likewise having gained the “shrine of victory”
In accordance with their deeds for sake of Buddhahood,
Though Bodhisattvas pass beyond all grief,
They yet can satisfy all ends.

38.
“But how,” you ask, “can offerings made
To beings freed from all discursiveness give fruit?”
It’s said that whether Buddhas live or pass beyond,
The offerings made to them are equal in their merit.

39.
Whether you assert them in the ultimate or relative,
Merit, so the scriptures say, arises,
Just as there will be results
When Buddhas are considered truly real.

40.
“We’re free,” you say, “through seeing the (Four) Truths—
What use is it to us, this view of emptiness?”
But as the scriptures have themselves proclaimed,
Without this path there can be no enlightenment.

41.
You say the Mahāyāna has no certainty.
But how do you substantiate your own tradition?
“Because it is accepted by both parties,” you will say.
But at the outset, you yourself lacked proof!

42.
The reasons why you trust in your tradition
May likewise be applied to Mahāyāna.
Moreover, if accord between two parties shows the truth,
The Vedas and the rest are also true.

43.
“Mahāyāna is at fault,” you say, “because it is contested.”
But Buddhist texts are questioned by extremists,
While Buddhists also vie among themselves;
And so your own tradition you must now abandon.

44.
The true monk is the root of Dharma,
And to be a monk is difficult indeed.
It’s hard for minds enmeshed in thoughts
To pass beyond the bonds of suffering.

45.
You say there’s liberation in the instant
That defilements are entirely forsaken.
Yet those who from defilements are set free
Continue to display the influence of karma.

46.
“Only for a while,” you say. “For it is certain
That the causes of rebirth, their cravings, are no more.”
They have no craving, granted, through defilement,
But like their ignorance, why should they not have craving undefiled?

47.
This craving is produced by virtue of sensation,
And sensation, this they surely have.
Concepts linger still within their minds;
And it is to these concepts that they cling.

48.
The mind that has not realized voidness,
May be halted, but will once again arise,
Just as from a non-perceptual absorption.
Therefore one must train in emptiness.

49.
If all the words recorded in the sūtras
You admit to be the Buddha’s perfect speech,
Why don’t you now accept the greater part of Mahāyāna,
With which your sūtras are in perfect harmony?109

50.
If due to just a single jarring element,
The whole is held to be at fault,
Why should a single sūtra in agreement with your texts
Not vindicate the rest as Buddha’s teaching?

51.
Mahākāshyapa110 himself and others
Could not sound the depths of such a teaching.
Who will therefore say that they’re to be rejected
Just because they are not grasped by you?

52.
To linger and abide within saṃsāra,
Freed from every craving and from every fear,
In order to achieve the good of those who ignorantly suffer:
Such is the fruit that emptiness will bear.

53.
Therefore it is incorrect
To find fault with this view of emptiness.
And so, with every doubt abandoned,
We should meditate on it!

54.
Afflictive passion and the veil upon cognition—
The cure for their obscurity is emptiness.
How then shall they not meditate on this
Who wish for swift attainment of omniscience?

55.
Whatever is the source of suffering,
Let that be the object of our fear.
But voidness will allay our every grief,
How could it be for us a thing of dread?

56.
If such a thing as “I” exists indeed,
Then terrors, granted, will torment it.
But since no self or “I” exists at all,
What is there left for fears to terrify?

57.
The teeth, the hair, the nails are not the “I,”
And “I” is not the bones or blood,
The mucus from the nose and phlegm are not the “I,”
And neither is it made of lymph or pus.

58.
The “I” is not the body’s grease or sweat,
The lungs and liver likewise do not constitute it.
Neither are the inner organs “I,”
Nor yet the body’s excrement and waste.

59.
The flesh and skin are not the “I,”
And neither are the body’s warmth and breath.
The cavities within the frame are not the “I,”
And “I” is not accounted for in sixfold consciousness.

60.
If the hearing consciousness is permanent,
It follows that it’s hearing all the time.
And if there is no object, what does it cognize?
On what grounds do you call it consciousness?

61.
If something that’s unconscious knows,
It follows that a stick has knowledge also.
Therefore in the absence of a thing to know,
It’s clear that consciousness will not arise.

62.
If the selfsame consciousness detects a form,
At that time, why does it not hear?
Perhaps you say the sound’s no longer there.
Then neither is there consciousness of sound.

63.
How could that which has the nature of a sound-perceiver
Ever be transformed into a form-perceiver?
“A single man,” you say, “can be both son and father.”
But these are merely names; his nature is not so.

64.
And likewise “pain,” “neutrality,” and “pleasure”
Are neither fatherhood nor sonship;
And we indeed have never yet observed
A consciousness of form perceiving sound.

65.
“But like an actor,” you reply, “it takes a different role and sees.”
If so, this consciousness is not a constant thing.
And if its later mode is still the first,
That’s identity indeed and never seen before!

66.
“But its different modes,” you say, “are quite unreal.”
Its essence therefore you must now describe.
You say that this is simply knowing.
It follows that all beings are a single thing.

67.
What has mind and what does not have mind
Are thus identical, for both are equal in existing.
If the different kinds of mind are all unreal,
What common basis can there be for them?

68.
Something destitute of mind, we hold, is not a self.
For mindlessness means matter, like a vase.
“But,” you say, “the self has consciousness when joined to mind.”
Then this refutes its nature of unconsciousness.

69.
If the self, moreover, is immutable,
What change in it could mingling with the mind produce?
And selfhood we might equally affirm
Of empty space, inert and destitute of mind.

70.
“If self does not exist,” you say,
“There is no link connecting actions with results.
If when the deed is done, the doer is no more,
Who is there to reap the karmic fruit?”

71.
The bases of the act and fruit are not the same,
In both a self is without scope for action.
This is valid both for you and us;
What point is there, therefore, in our debate?

72.
“A cause coterminous with its result”
Is something quite impossible to see.
And only in the context of a single mental stream
Can it be said that one who acts will later reap the fruit.

73.
The thoughts now passed, and those to come, are not the self;
They are no more, or are not yet.
Is then the self the thought which now is born?
If so, it sinks to nothing when the latter fades.

74.
For instance, we may take banana trees—
Cutting through the fibers, finding nothing.
Likewise analytical investigation
Will find no “I,” no underlying self.

75.
“If beings,” you will say, “have no existence,
Who will be the object of compassion?”
Those whom ignorance imputes,
For whose sake we have pledged ourselves.

76.
“If,” you ask, “there are no beings, who will gain the fruit?”
It’s true! It is through ignorance that they are said to be!
But for the total vanquishing of sorrow,
The goal, which ignorance conceives, should not be spurned.

77.
The source of sorrow is the pride of saying “I,”
It’s fostered and increased by false belief in self.
To this you may believe that there is no redress,
But meditation on no-self will be the supreme way.

78.
What we call the body is not feet or shins;
The body, likewise, is not thighs or loins.
It’s not the belly nor indeed the back,
And from the chest and arms the body is not formed.

79.
The body is not ribs or hands,
Armpits, shoulders, bowels, or entrails.
It is not the head, and it is not the throat.
What is the “body,” then, in all of this?

80.
If the “body” spreads itself
And with the members coincides,
Its parts indeed are present in those parts.
But where does “body,” in itself, abide?

81.
But if the “body,” single and entire
Is present in the hands and other members,
However many parts there are, the hands and all the rest,
You’ll find an equal quantity of “bodies.”

82.
If “body” is not outside or within its parts,
How is it, then, residing in its members?
And since it is not other than its parts,
How can you say that it exists at all?

83.
Thus there is no “body.” It is through illusion,
With regard to hands and other parts, that “body” as a notion is conceived—
Just as on account of its specific shape
A pile of stones is taken for a man.

84.
As long as the conditions are assembled,
The body will appear to be a man.
As long as all the parts are likewise present,
A body will appear therein.

85.
Likewise, since it is a group of fingers,
The hand itself does not exist as such.
And so it is with fingers, made of joints—
And joints themselves consist of many parts.

86.
These parts themselves will break down into particles,
And particles divide according to direction.
These fragments, too, lack partless parts; they are like space.
Thus even particles have no existence.

87.
All form, therefore, is like a dream,
And who will be attached to it, who thus investigates?
The body, in this way, has no existence;
What, therefore, is male and what is female?

88.
If suffering itself is truly real,
Why is joy not altogether quenched thereby?
If pleasure’s real, then why will pleasant tastes
Not comfort and amuse a man in agony?

89.
If the feeling fails to be experienced,
Through being overwhelmed by something stronger,
How can “feeling” rightly be ascribed
To that which lacks the character of being felt?

90.
Perhaps you say that only subtle pain remains,
Its grosser form has now been overmastered—
Or rather it is felt as “mere pleasure.”
But what is subtle still remains itself.

91.
If, because its opposite is present,
Discomfort fails to manifest,
Is not the claim that it’s a “feeling”
No more than a mental imputation?

92.
Since so it is, the antidote
Is meditation and analysis.
Absorption grown in fields of their investigation
Is indeed the food and sustenance of yogis.

93.
If between the sense power and a thing
There is a space, how will the two terms meet?
And if there is no space, they form a unity,
And therefore what is it that meets with what?

94.
No penetration can there be of particle by particle,
For they are both the same in lacking volume.
But if they do not penetrate, they do not merge;
And if they do not merge, there’s no encounter.

95.
For how could anyone accept
That what is partless could be said to meet?
And you must show me, if you ever saw,
A contact taking place between two partless things.

96.
Consciousness is immaterial,
And so one cannot speak of contact with it.
A combination, too, has no reality,
Just as we have previously shown.

97.
If therefore there’s no touch or contact,
Whence is it that feeling takes its rise?
What purpose is there, then, in all our toil,
For what is it, indeed, that torments what?

98.
Since there is no subject for sensation,
And sensation, too, lacks all existence,
How is craving not arrested
When all this is clearly understood?

99.
What we see and what we touch
Is stuff of dreams and mirages.
If feeling is coincident with consciousness,
It follows that it is not seen thereby.

100.
If the one arises first, the other after,
Memory occurs and not direct sensation.
Sensation is without perception of itself
And likewise, by another it is not perceived.

101.
The agent of sensation has no real existence,
Thus sensation, likewise, has no being.
What damage, therefore, can sensation do to it—
This aggregate deprived of self?

102.
The mind within the senses does not dwell,
It has no place in outer things like form.
And in between, the mind does not abide:
Not out, not in, not elsewhere, can the mind be found.

103.
It is not in the body, yet is nowhere else.
It does not merge with it nor stand apart—
Something such as this does not exist, not even slightly.
Beings by their nature are beyond the reach of suffering.

104.
If consciousness precedes the cognized object,
With regard to what does it arise?
If consciousness arises at the same time as its object,
Again, regarding what does it arise?

105.
If consciousness comes later than its object,
Once again, from what does it arise?
Thus the origin of all phenomena
Exceeds the reach of understanding.

106.
“If this is so,” you say, “there is no relative,
And then the two truths—what becomes of them?
Moreover, if the relative derives from beings’ minds,
How can they pass beyond their sorrows?”

107.
But that is just the thought of others;
It is not what I mean by the relative.
If subsequently there are thoughts, the relative’s still there;
If not, the relative has ceased indeed.

108.
The analyzing mind and what is analyzed
Are linked together, mutually dependent.
It is on the basis of conventional consensus
That all investigation is expressed.

109.
“But when,” you say, “the process of analysis
Is made, in turn, the object of our scrutiny,
This investigation likewise may be analyzed,
And thus we find an infinite regress.”

110.
If phenomena are truly analyzed,
No basis for analysis remains.
And when the object is removed, the subject too subsides.
That indeed is said to be nirvāṇa.

111.
Those who say that both are true,
Are hard-pressed to maintain their case.
If consciousness reveals the truth of things,
On what grounds, in its turn, does consciousness exist?

112.
If knowledge objects show that consciousness exists,
What is it that shows that they exist?
If both subsist through mutual dependence,
Both will thereby lose their true existence.

113.
If, without a son, a man cannot be father,
Whence, indeed, will such a son arise?
There is no father in the absence of a son.
Just so, the mind and object have no true existence.

114.
“The plant arises from the seed,” you say,
“And through it is the seed deduced.
It’s just the same with consciousness arising from its object.
How can it fail to show the thing’s existence?”

115.
A consciousness that’s different from the plant itself
Deduces the existence of the seed.
But what will show that consciousness exists,
Whereby the object is itself established?

116.
In everyday perception
There’s a cause for everything.
The different segments of the lotus flower
Arise from a variety of causes.

117.
“But what gives rise,” you ask, “to such variety of causes?”
An even earlier variety of causes, we declare.
“And how,” you ask, “do causes give their fruits?”
Through power, we answer, of preceding causes.

118.
If Īshvara is held to be the cause of beings,
You must now define for us his nature.
If, by this, you simply mean the elements,
No need to tire ourselves disputing names!

119.
Yet earth and other elements are many,
Impermanent, inert, without divinity.
Trampled underfoot, they are impure,
And thus they cannot be a God Omnipotent.

120.
The Deity cannot be space—inert and unproductive.
He cannot be the self, for this we have refuted.
He’s inconceivable, they say—then likewise his creatorship.
Is there any point, therefore, to such a claim?

121.
What is it that he wishes to create?
Has he made the self and all the elements?
But are not self and elements and he himself eternal?
And consciousness, we know, arises from its object.

122.
Pain and pleasure have, from all time, sprung from karma,
So tell us, what has his Divinity produced?
And if there’s no beginning in the cause,
How can there be beginnings in its fruits?

123.
Why are creatures not created constantly,
For Īshvara relies on nothing but himself?
And if there’s nothing that he has not made,
What remains on which he might depend?

124.
If Īshvara depends, the cause of all
Is but the meeting of conditions and not Īshvara.
When these obtain, he cannot but create;
When these are absent, he is powerless to make.

125.
If Almighty God does not intend,
But yet creates, another thing has forced him.
If he wishes to create, he’s swayed by his desire.
So even though Creator, what of his omnipotence?

126.
Those who hold the permanence of particles
Were indeed refuted earlier.
The Sāṃkhyas are the ones who hold
That permanent prakṛiti is the cause of the evolving world.

127.
“Pleasure,” “pain,” “neutrality,” so-called,
Are qualities which, when they rest
In equilibrium are termed “prakṛiti.”
The universe arises when this balance is disturbed.

128.
Three natures in a unity are disallowed,
And thus prakṛiti is without existence.
These qualities likewise do not exist,
For each of them indeed is three.

129.
If these qualities have no existence,
A thing like sound is very far from plausible!
And cloth and other mindless objects
Cannot be the seat of feelings such as pleasure.

130.
“But,” you say, “these things possess the nature of their cause.”
But have we not investigated “things” already?
For you the cause is “pleasure” and the like,
And yet from pleasure, cloth has never sprung!

131.
Pleasure, rather, is produced from cloth.
If this is nonexistent, pleasure likewise.
As for permanence of pleasure and the rest—
Well, there’s a thing that’s never been observed!

132.
If pleasure and the rest are manifestly present,
How comes it that they’re not perceived?
And if you claim they take on subtle form,
How is it that they are both gross and subtle?

 

133.
If coarseness is abandoned, subtlety assumed,
Subtlety and grossness both lack permanence.
So why not grant that, in this way,
All things possess the character of transience?

134.
If the coarser aspect is none other than the pleasure,
It’s clear that pleasure is itself impermanent.
If you claim that what does not exist in any sense
(Because it has no being) cannot manifest,

135.
Although you have denied the birth of things
That did not previously exist, it’s this that you’re now saying!
But if results exist within their cause,
Those who eat their food consume their excrement.

136.
And likewise with the money they would spend on clothing,
Let them rather buy the cotton grains to wear!
“But,” you say, “the world is ignorant and blind.
For this is taught by ‘those who know the truth.’”

137.
This knowledge must be present in the worldly too!
And if they have it, why do they not see?
If now you say that what the worldly see has no validity,
This means that what they clearly see is false.

138.
“If,” you ask, “there’s no validity in valid knowledge,
Is not all that it assesses false?
And therefore it becomes untenable
To meditate on voidness, ultimate reality.”

139.
If there is no object for analysis,
There can be no grasping of its nonexistence.
And so deceptive objects of whatever kind
Will also have a nonexistence equally deceptive.

140.
When therefore in one’s dream a child has died,
The state of mind that thinks it is no more
Supplants the thought that it is living still.
And yet both thoughts are equally deceptive.

141.
Therefore, as we see through such investigation,
Nothing is that does not have a cause;
And nothing is existent in its causes
Taken one by one or in the aggregate.

142.
It does not come from somewhere else,
Neither does it stay nor yet depart.
How will what confusion takes for truth
In any sense be different from a mirage?

143.
Things, then, bodied forth by magic spells,
And that which is displayed by dint of causes—
Whence have these arisen? we should ask;
And where they go to, that we should examine!

144.
What is seen when circumstances meet
And is not seen in absence of the same
Is not real; it is like an image in a mirror.
How can true existence be ascribed to it?

145.
What need is there for cause
In something that’s already real?
But then, what need is there for cause
In something that does not exist?

146.
Even through a hundred million causes,
No change takes place in nonexistent things,
For in that state of “non-thing,” how could “things” occur?
And into what could nonexistent things transform?

147.
Since things cannot become when they are nonexistent,
When could such existent things occur?
For insofar as entities do not arise,
Nonentities themselves will not depart.

148.
And if nonentity is not dispersed,
No chance is there for entity to manifest.
And entity cannot be changed into nonentity,
For otherwise it has a double nature.

149.
Thus there are no entities
And likewise there’s no ceasing of the same.
And therefore beings, each and every one,
Are without origin and never cease.

150.
Wandering beings, thus, resemble dreams,
And also the banana tree, if you examine well.
In ultimate reality there’s no distinguishing
Between the states of sorrow and beyond all sorrow.

151.
With things that in this way are empty
What is there to gain and what to lose?
Who is there to pay me court and honors,
And who is there to scorn and to revile me?

152.
Pleasure, sorrow—whence do these arise?
What is there to give me joy and pain?
And if I search their very suchness,
Who is craving? What is craved?

153.
Examine now this world of living beings:
Who is there therein to pass away?
What is there to come, and what has been?
And who, indeed, are relatives and friends?

154.
May beings like myself discern and grasp
That all things have the character of space!
But those who seek their happiness and ease,
Through disputes or enjoyments,

155.
All are deeply troubled, or else thrilled with joy.
They suffer, strive, contend among themselves,
Slashing, stabbing, injuring each other:
They live their lives engulfed in evil and travail.

156.
From time to time they surface in the states of bliss,
Abandoning themselves to many pleasures.
But dying, down they fall to suffer torment,
Long, unbearable, in realms of sorrow.

157.
Many are the chasms and abysses of existence,
Where the truth of suchness is not found.
All is contradiction, all denial;
Suchness in this world is not like this.

158.
Here, exceeding all description,
Is the shoreless sea of pain unbearable.
Here it is that strength is low,
And lives are flickering and brief.

159.
All activities for sake of life and health,
Relief of hunger and of weariness,
Time consumed in sleep, all accident and injury,
And sterile friendships with the childish—

160.
Thus life passes quickly, meaningless.
True discernment—hard it is to have!
How therefore shall we ever find the means
To curb the futile wanderings of the mind?

161.
Further, evil forces work and strain
To cast us down into the states of woe;
Manifold are false, deceptive trails,
And it is hard to dissipate our doubts.

162.
Hard it is to find again this state of freedom,
Harder yet to come upon enlightened teachers,
Hard, indeed, to turn aside the torrent of defilement!
Alas, our sorrows fall in endless streams!

163.
Alas indeed that living beings,
Carried on the flood of bitter pain,
However terrible their plight may be,
Do not perceive they suffer so!

164.
They are like those who bathe themselves repeatedly
And then proceed to scorch themselves with fire.
They suffer greatly in this way,
Yet there they stay, proclaiming loud their bliss.

165.
Likewise there are some who live and act
As though old age and death will never come to them.
But first they’re slain and then there comes
The dreadful fall into the states of loss.

166.
When shall I be able to allay and quench
The dreadful heat of suffering’s blazing fires
With plenteous rains of my own bliss
That pour torrential from my clouds of merit?

167.
My wealth of merit gathered in,
With reverence but without conceptual target,
When shall I reveal this truth of emptiness
To those who go to ruin through belief in real existence?

 

Notes:

107. Tibetan habitually uses two expressions to refer to the relative truth: kun rdzob and tha snyad. Although they are often employed
interchangeably as synonyms, these terms have slightly different connotations. Kun rdzob kyi bden pa literally means the “all-concealing
truth.” It refers to phenomena as they are encountered in everyday life, and to the fact that their appearance (as independently existing entities) conceals their true nature (i.e., their emptiness of such independent and intrinsic being). In so far as the things and situations encountered in life are accepted as genuine in the common consensus (as contrasted with magical illusions, mirages, etc.), they are “true,” but only relatively so, since the way they appear does not correspond with their actual status.

We have therefore systematically translated kun rdzob kyi bden pa as “relative truth.” Tha snyad, on the other hand, means “name,”
“conventional expression.” Tha snyad kyi bden pa (which we have translated as “conventional truth”) refers to phenomena insofar as they can be conceived by the ordinary mind and spoken of within the limits of conventional discourse.

108. This refers to Buddhist thinkers and practitioners who with varying degrees of success have acquired an understanding of the true status of phenomena. In terms of the five paths, which in Buddhism are used to map out the progress of the mind toward the attainment of omniscience or complete enlightenment, the yogis in question are on the first and the second, namely, “accumulation” and “joining.” They have not yet attained the path of seeing, where the mind enjoys a direct experience of the emptiness of phenomena, at which point it is said to pass beyond the world, that is, samsara. For although the yogis on the path of seeing have yet to achieve Buddhahood, they can never fall back into samsaric existence.

109. According to the Sanskrit commentary of Prajñākaramati, stanzas 49 to 51 have been misplaced and are not in their correct position. According to the commentary of Gyalse Thogme Zangpo, they could be inserted between verses 43 and 44. Here we have followed the positioning of Kunzang Pelden and Mipham Rinpoche.

110. Mahākāshyapa became, after the Buddha’s parinirvāṇa, the leader of the Saṅgha and played an important role in the preservation of the teachings.

Related Articles

bgf

Tantra

Two Truths, October 2014 – Bodh Gaya, India – Part 2 / 二諦 第二集 (宗薩欽哲仁波切)

Two Truths, October 2014 - Bodh Gaya, India - Part 2 / 二諦 第二集 (宗薩欽哲仁波切) by Dzongsar Jamyang Khyentse...

Most Popular

Mahāsuññata Sutta – MN 122

Majjhima Nikāya 122. Mahāsuññata Sutta Khotbah Panjang tentang Kekosongan Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang...

Vassakāra Sutta – AN 7.22

Aṅguttara Nikāya 7.22. Vassakāra Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung...

Memutar Roda Dhamma SN.56.11

Memutar Roda Dhamma SN.56.11 Kelompok Khotbah tentang Kebenaran-kebenaran 56.11. Memutar Roda Dhamma Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika...

Samādhibhāvanā Sutta – AN 4.41

Aṅguttara Nikāya Buku v. Rohitassa 4.41. Pengembangan lebih lanjut “Para bhikkhu, ada empat pengembangan konsentrasi ini. Apakah...

Guru’s Devotion – Commitment to the student, São Paulo, Brazil, Dec 19, 2018

Guru's Devotion - Commitment to the student, São Paulo, Brazil, Dec 19, 2018 by Dzongsar Jamyang Khyentse...

Alam Tujuan Kelahiran Orang-Orang – AN7.55

Alam Tujuan Kelahiran Orang-Orang - AN7.55 “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh alam tujuan kelahiran orang-orang dan...

Essential wealth for the warrior-like people who wish to be liberated by Atisha (Lhacig Jobo Je)

Essential wealth for the warrior-like people who wish to be liberated by Lama Atisha (Lhacig Jobo Je) . The following text was translated in...
bgf