Poṭṭhapāda Sutta – Kondisi Kesadaran DN9

Array

Poṭṭhapāda Sutta – Kondisi Kesadaran DN9

Sīlakkhandhavagga
Poṭṭhapāda Sutta
9. Tentang Poṭṭhapāda
Kondisi Kesadaran

Demikianlah yang kudengar. Pada Suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi, di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Dan pada saat itu pengembara Poṭṭhapāda sedang berada di aula-perdebatan di dekat pohon Tinduka, di taman dengan aula tunggal milik Ratu Mallika, di tengah-tengah tiga ratus pengembara.

Kemudian, Sang Bhagavā, setelah bangun pagi, membawa jubah dan mangkuknya dan pergi ke Sāvatthi untuk menerima dana makanan. Tetepi Beliau berpikir: ‘Masih terlalu pagi untuk pergi ke Sāvatthi untuk menerima dana makanan. Bagaimana jika Aku pergi ke aula perdebatan untuk menjumpai si pengembara Poṭṭhapāda?’ Dan Beliau melakukan hal itu.

Di sana Poṭṭhapāda sedang duduk bersama kelompoknya para pengembara, semuanya berteriak dan membuat kegaduhan, terlibat dalam berbagai pembicaraan yang tidak bertujuan, seperti tentang raja-raja, perampok-perampok, menteri-menteri, bala tentara, bahaya-bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, pengharum, sanak saudara, kereta-kereta, desa, pemukiman dan kota, negeri-negeri, perempuan-perempuan, pahlawan-pahlawan, gosip-sumur dan gosip-jalanan, pembicaraan tentang mereka yang telah meninggal dunia, pembicaraan yang tidak menentu, spekulasi mengenai daratan dan lautan, pembicaraan mengenai ke-ada-an dan ke-tiada-an.

Tetapi Poṭṭhapāda melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, dan ia memerintahkan para pengikutnya, dengan mengatakan: ‘Tenanglah, tuan-tuan, jangan berisik, tuan-tuan! Petapa Gotama sedang menuju ke sini, dan Beliau menyukai ketenangan, dan memuji ketenangan. Jika Beliau melihat kelompok ini tenang, Beliau pasti akan datang dan mengunjungi kita.’ Mendengar kata-kata ini para pengembara menjadi diam.

Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Poṭṭhapāda yang berkata: ‘Mari, Yang Mulia Bhagavā, selamat datang, Yang Mulia Bhagavā! Akhirnya Bhagavā datang ke sini. Silahkan duduk, Bhagavā, tempat duduk telah disediakan.’

Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah disediakan, dan Poṭṭhapāda mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata: ‘Poṭṭhapāda, apakah yang sedang kalian bicarakan? Percakapan apakah yang terhenti karena Aku?’

Poṭṭhapāda menjawab: ‘Bhagavā, jangan pedulikan pembicaraan yang kami lakukan tadi, tidaklah sulit bagi Sang Bhagavā untuk mendengarnya nanti. Dalam beberapa hari ini, Bhagavā, diskusi antara para petapa dan para Brahmana dari berbagai aliran, duduk bersama dan mengadakan rapat di dalam aula-perdebatan, berhubungan dengan pemadaman yang lebih tinggi dari kesadaran, dan bagaimana hal ini terjadi. Beberapa berkata: “Persepsi seseorang muncul dan lenyap tanpa sebab atau kondisi. Ketika muncul, maka seseorang menjadi sadar, ketika lenyap, maka seseorang menjadi tidak sadar.” Demikianlah mereka menjelaskannya. Tetapi yang lain berkata: “Tidak, itu bukan begitu. persepsi adalah diri dari seseorang, yang datang dan pergi, ketika ia datang, maka seseorang menjadi sadar, ketika ia pergi, maka seseorang menjadi tidak sadar.” Yang lain lagi berkata: “Itu bukan begitu. Ada petapa dan Brahmana yang memiliki kesaktian tinggi, memiliki pengaruh besar. Mereka memasukkan kesadaran ke dalam diri seseorang dan mencabutnya. Ketika mereka memasukkannya ke dalam dirinya, ia menjadi sadar, ketika mereka mencabutnya, ia menjadi tidak sadar.” Dan yang lain lagi berkata: “Tidak, bukan begitu. Ada para dewa yang memiliki kesaktian tinggi, memiliki pengaruh besar. Mereka memasukkan kesadaran ke dalam diri seseorang dan mencabutnya. Ketika mereka memasukkannya ke dalam dirinya, ia menjadi sadar, ketika mereka mencabutnya, ia menjadi tidak sadar.” Sehubungan dengan hal ini aku teringat pada Sang Bhagavā, yang telah sempurna menempuh Sang Jalan, Beliau sangat ahli dalam hal-hal seperti ini! Sang Bhagavā memahami dengan baik pemadaman yang lebih tinggi dari kesadaran.” Apakah itu, Bhagavā, pemadaman yang lebih tinggi dari kesadaran ini?’

‘Dalam masalah ini, Poṭṭhapāda, para petapa dan Brahmana yang mengatakan persepsi seseorang muncul dan lenyap tanpa sebab dan kondisi adalah salah besar. Mengapakah? Persepsi seseorang muncul dan lenyap karena suatu sebab dan kondisi. Beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’ ‘Apakah latihan?’, Sang Bhagavā berkata. ‘Poṭṭhapāda, seorang Tathāgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan dan Yang Suci. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuanNya sendiri, menyatakan dunia ini dengan para dewa, māra dan Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41–62). Itu baginya adalah moralitas.

‘Dan kemudian, Poṭṭhapāda, bhikkhu tersebut yang sempurna dalam moralitas melihat tidak ada bahaya dari sisi manapun juga … (seperti Sutta 2, paragraf 63). Demikianlah ia sempurna dalam moralitas.

Ia menjaga pintu-pintu indrianya, dan seterusnya (Sutta 2, paragraf 64–75).

Setelah mencapai jhāna pertama, ia berdiam di sana. Dan sensasi apapun yang ia miliki sebelumnya menjadi lenyap. Pada saat itu terdapat persepsi kegembiraan dan kebahagiaan yang sesungguhnya namun halus, yang muncul dari keterlepasan, dan ia menjadi seorang yang sadar akan kegembiraan dan kebahagiaan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan. Dan ini adalah latihan itu’, Sang Bhagavā berkata.

‘Kemudian lagi, seorang bhikkhu, dengan melenyapkan pemikiran dan pertimbangan, dengan memperoleh ketenangan dan keterpusatan pikiran, mencapai dan berdiam di dalam jhāna kedua, yang bebas dari pemikiran dan pertimbangan, yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Persepsi kegembiraan dan kebahagiaan yang sesungguhnya namun halus yang muncul dari keterlepasan yang ada sebelumnya menjadi lenyap. Pada saat itu terdapat persepsi kegembiraan dan kebahagiaan yang sesungguhnya namun halus , yang muncul dari konsentrasi, dan ia menjadi seorang yang sadar akan kegembiraan dan kebahagiaan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.

‘Kemudian lagi, dengan meluruhnya kegembiraan ia berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, dan ia mengalami dalam tubuhnya perasaan menyenangkan yang oleh Para Mulia dikatakan: “Kediaman bahagia bagi seseorang yang memiliki keseimbangan dan perhatian”, dan ia mencapai dan berdiam di dalam jhāna ketiga. Persepsi kegembiraan dan kebahagiaan yang sesungguhnya namun halus yang muncul dari konsentrasi yang ada sebelumnya menjadi lenyap, dan di sana muncul keseimbangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya namun halus, dan ia menjadi seorang yang sadar akan keseimbangan dan kebahagiaan yang halus ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.

‘Kemudian lagi, dengan ditinggalkannya kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia mencapai dan berdiam di dalam jhāna keempat, suatu kondisi yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Keseimbangan dan perhatian halus yang ada sebelumnya menjadi lenyap, dan di sana muncul bukan kebahagiaan dan juga bukan-kebahagiaan yang halus, dan ia menjadi seorang yang sadar akan kebahagiaan dan juga bukan-kebahagiaan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.

‘Kemudian lagi, dengan seluruhnya melampaui sensasi jasmani, dengan lenyapnya semua penolakan dan dengan ketidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, melihat bahwa ruang adalah tidak terbatas, ia mencapai dan berdiam di dalam alam ruang tanpa batas. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.

‘Kemudian lagi, dengan seluruhnya melampaui

Alam Ruang Tanpa Batas, melihat bahwa kesadaran adalah tidak terbatas, ia mencapai dan berdiam di dalam Alam Kesadaran Tanpa Batas. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.

‘Kemudian lagi, dengan seluruhnya melampaui Alam Kesadaran Tanpa Batas, melihat bahwa tidak ada apa-apa, ia mencapai dan berdiam di dalam Alam Kekosongan. dan ia menjadi seorang yang sadar akan munculnya persepsi yang halus dari Alam Kekosongan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’ Sang Bhagavā berkata.

‘Poṭṭhapāda, sejak saat ketika seorang bhikkhu mencapai persepsi terkendali ini, ia maju secara bertahap hingga mencapai batas persepsi. Ketika ia mencapai batas persepsi, muncul dalam dirinya: “Aktivitas pikiran bertambah buruk bagiku, kurangnya aktivitas pikiran adalah lebih baik. Jika aku berpikir dan membayangkan, maka persepsi-persepsi ini [yang telah kucapai] akan lenyap, dan persepsi-persepsi yang lebih kasar akan muncul dalam diriku. Bagaimana Jika aku tidak berpikir dan tidak membayangkan?” Maka ia tidak berpikir dan tidak membayangkan. Dan kemudian, dalam dirinya, hanya persepsi-persepsi ini yang muncul, tetapi yang lainnya, persepsi-persepsi yang kasar tidak muncul. Ia mencapai pelenyapan. Dan itu, Poṭṭhapāda, adalah bagaimana lenyapnya persepsi terjadi setahap demi setahap.

‘Bagaimana menurutmu, Poṭṭhapāda? Pernahkah engkau mendengarkan hal ini sebelumnya?’ ‘Belum, Bhagavā. Seperti yang kupahami, Bhagavā telah mengatakan: “Poṭṭhapāda, sejak saat ketika seorang bhikkhu mencapai persepsi terkendali ini, ia maju secara bertahap hingga mencapai batas persepsi. Ketika ia mencapai batas persepsi … Ia mencapai pelenyapan … dan demikianlah bagaimana lenyapnya persepsi terjadi setahap demi setahap.”’ ‘Benar, Poṭṭhapāda.’

‘Bhagavā, apakah Engkau mengajarkan puncak persepsi hanya ada satu, atau ada banyak? ‘Aku mengajarkannya satu dan juga banyak’ ‘Bhagavā, bagaimanakah yang satu, dan bagaimanakah yang banyak?’ ‘Sebagaimana ia mencapai berturut-turut pelenyapan dari masing-masing persepsi, maka Aku mengajarkan puncak dari persepsi: demikianlah Aku mengajarkan satu puncak persepsi, dan Aku juga mengajarkan banyak.’

‘Bhagavā, apakah persepsi muncul sebelum pengetahuan, atau pengetahuan muncul sebelum persepsi, atau apakah keduanya muncul bersamaan? ‘Persepsi muncul terlebih dulu, Poṭṭhapāda, kemudian pengetahuan, dan dari munculnya persepsi, muncullah pengetahuan. Dan seseorang mengetahui: “‘Dengan terkondisi demikian, muncullah pengetahuan.” Dengan demikian engkau dapat melihat bagaimana persepsi muncul terlebih dulu, dan kemudian pengetahuan, dan bahwa dari munculnya persepsi, muncullah pengetahuan.’

‘Bhagavā, apakah persepsi adalah diri seseorang? Atau persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya?’ ‘Baiklah, Poṭṭhapāda, apakah engkau menerima teori diri?’

‘Bhagavā, aku menerima teori diri yang kasar, bermateri, tersusun dari empat unsur utama, dan memakan makanan padat.’ ‘Tetapi dengan diri yang kasar begitu, Poṭṭhapāda, persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya. Engkau dapat melihatnya dengan cara ini. Dengan diri yang kasar demikian, persepsi-persepsi tertentu akan muncul dalam diri seseorang, dan yang lainnya lenyap. Dengan cara ini engkau dapat melihat bahwa persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya.’

‘Bhagavā, aku menerima teori diri ciptaan-pikiran lengkap dengan semua bagiannya, tidak ada cacat dalam semua organ-indria.’ ‘Tetapi dengan diri ciptaan-pikiran demikian, persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya … ’

‘Bhagavā, aku menerima teori diri yang tanpa bentuk, terbuat dari persepsi.’ ‘Tetapi dengan diri yang tanpa bentuk demikian, persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya … ’

‘Tetapi Bhagavā, apakah mungkin bagiku untuk mengetahui apakah persepsi adalah diri seseorang, atau apakah persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya?’ ‘Poṭṭhapāda, adalah sulit bagi seseorang yang berpandangan berbeda, keyakinan berbeda, di bawah pengaruh yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda dan latihan yang berbeda untuk mengetahui apakah kedua hal ini berbeda atau tidak.’

‘Baiklah, Bhagavā, jika pertanyaan mengenai diri dan persepsi ini sulit bagi seseorang sepertiku—katakanlah: Apakah dunia ini kekal? Apakah hanya ini yang benar dan yang sebaliknya salah?’ ‘Poṭṭhapāda, Aku tidak menyatakan bahwa dunia ini kekal dan bahwa pandangan yang sebaliknya adalah salah.’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah dunia ini tidak kekal?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak kekal … ’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah dunia terbatas, … tidak terbatas? … ’

‘Aku tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak terbatas dan bahwa pandangan yang sebaliknya adalah salah.’

‘Baiklah, Bhagavā, apakah jiwa sama dengan badan, … apakah jiwa adalah satu hal, dan badan adalah hal lainnya? ‘Aku tidak menyatakan bahwa jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya.’

‘Baiklah, Bhagavā, apakah Sang Tathāgata ada setelah kematian? Apakah hanya ini yang benar dan semua yang lainnya salah?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian’, ‘Baiklah, Bhagavā, apakah Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian, … ada dan tidak ada setelah kematian? … bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian, dan bahwa semua yang lainnya adalah salah.’

‘Tetapi, Bhagavā, mengapakah Bhagavā tidak menyatakan hal-hal ini?’ ‘Poṭṭhapāda, itu tidak mendukung pada tujuan, tidak mendukung pada Dhamma, bukan jalan untuk memulai kehidupan suci; tidak mengarah menuju ketidak-tertarikan, tidak menuju kebosanan, tidak menuju pelenyapan, tidak menuju ketenangan, tidak menuju pengetahuan yang lebih tinggi, tidak menuju pencerahan, tidak menuju Nibbāna. Itulah sebabnya maka Aku tidak menyatakannya.’

‘Tetapi, Bhagavā, apakah yang Bhagavā nyatakan?’ ‘Poṭṭhapāda, Aku telah menyatakan: “Ini adalah penderitaan, ini adalah asal-mula penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.”’

‘Tetapi, Bhagavā, mengapakah Bhagavā menyatakan hal-hal ini?’ ‘Karena, Poṭṭhapāda, itu mendukung pada tujuan, mendukung pada Dhamma, jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah menuju ketidak-tertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju ketenangan, menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya maka Aku menyatakannya.’

‘Jadi begitu, Bhagavā, jadi begitu, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan. Dan sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk melakukan apa yang Beliau anggap baik.’ Kemudian Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya dan pergi.

Kemudian para pengembara, segera setelah Sang Bhagavā pergi, mencela, mengejek, mencemooh Poṭṭhapāda dari segala sisi, dengan mengatakan: ‘Apapun yang dikatakan Petapa Gotama, Poṭṭhapāda setuju denganNya: “Jadi begitu, Bhagavā, jadi begitu, Yang Sempurna Menempuh Sang Jalan!” Kami tidak mengerti sepatah katapun dari keseluruhan ceramah Petapa Gotama: “Apakah dunia ini kekal atau tidak?—Apakah terbatas atau tidak terbatas?—Apakah jiwa sama dengan badan atau berbeda?—Apakah Sang Tathāgata ada setelah kematian atau tidak ada, atau keduanya, atau bukan keduanya?”’

Poṭṭhapāda menjawab: ‘Aku juga tidak mengerti tentang apakah dunia ini kekal atau tidak … atau apakah Sang Tathāgata ada setelah kematian atau tidak, atau keduanya, atau bukan keduanya. Tetapi Petapa Gotama mengajarkan cara yang benar dan nyata dalam praktik yang selaras dengan Dhamma dan berdasarkan pada Dhamma. Dan mengapakah seorang sepertiku tidak mengungkapkan persetujuan atas praktik yang benar dan nyata, yang diajarkan dengan begitu baik oleh Petapa Gotama?’

Dua atau tiga hari kemudian, Citta, putra seorang pelatih gajah, pergi bersama Poṭṭhapāda menemui Sang Bhagavā. Citta bersujud di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Poṭṭhapāda saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan menceritakan apa yang terjadi.

‘Poṭṭhapāda, semua pengembara itu adalah buta dan tidak memiliki penglihatan, engkau satu-satunya di antara mereka yang memiliki penglihatan. Beberapa hal yang Kuajarkan dan Kutunjukkan, Poṭṭhapāda, adalah pasti, yang lainnya adalah tidak pasti. Yang manakah yang Kutunjukkan adalah tidak pasti? “”Dunia adalah abadi” Aku menyatakan sebagai tidak pasti … “‘Tathāgata ada setelah kematian … ” Mengapa? Karena tidak mendukung … menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku menyatakannya sebagai tidak pasti.

‘Tetapi yang manakah yang Kutunjukkan sebagai pasti? “Ini adalah penderitaan, ini adalah asal-mula penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.” Mengapa? Karena, itu mendukung pada tujuan, mendukung pada Dhamma, jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah menuju ketidak-tertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju ketenangan, menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya maka Aku menyatakannya sebagai pasti.

‘Poṭṭhapāda, ada beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan dan percaya bahwa setelah kematian diri ini bahagia sepenuhnya dan bebas dari penyakit. Aku mendatangi mereka dan bertanya apakah ini adalah apa yang mereka nyatakan dan percayai, dan mereka menjawab: “Ya.” Kemudian Aku berkata: “Apakah kalian, teman-teman, hidup di dunia ini, mengetahui dan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang bahagia sepenuhnya?” dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Pernahkah kalian mengalami satu malam atau satu hari atau setengah malam atau setengah hari, merasa bahagia sepenuhnya?” Dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Apakah kalian mengetahui jalan atau praktik yang mana kebahagiaan sepenuhnya di dunia dapat diwujudkan?” Dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Pernahkah kalian mendengar suara-suara surgawi yang telah terlahir kembali di dunia yang bahagia sepenuhnya, yang mengatakan: ‘Pencapaian dunia yang bahagia sepenuhnya telah diperoleh dengan baik dan benar, dan kita, tuan-tuan, telah terlahir di alam demikian’?” dan mereka menjawab: “Tidak.” Bagaimana menurutmu Poṭṭhapāda? Kalau begitu, bukankah perkataan para petapa dan Brahmana itu terbukti bodoh?

‘Ini bagaikan seorang laki-laki yang mengatakan: “Aku akan mencari dan mencintai seorang perempuan yang paling cantik di negeri ini.” Mereka akan mengatakan kepadanya: “Sehubungan dengan perempuan cantik ini, apakah engkau mengetahui dia berasal dari kasta Khattiya, Brahmana, pedagang atau pekerja?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan mengatakan: “Apakah engkau mengetahui namanya, sukunya, apakah ia tinggi atau pendek atau sedang, apakah ia berkulit gelap atau cerah atau pucat, atau dari desa atau kota manakah ia berasal?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan mengatakan: “Jadi, engkau tidak mengetahui atau melihat orang yang engkau cari dan inginkan?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Bukankah kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

‘Dan demikian pula dengan para petapa dan Brahmana yang menyatakan dan percaya bahwa setelah kematian diri ini bahagia sepenuhnya dan bebas dari penyakit …

Bukankah kata-kata mereka terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

‘Ini seperti seseorang yang membangun sebuah tangga untuk sebuah istana di persimpangan jalan. Orang-orang akan berkata kepadanya: “Tangga ini, untuk istana, yang sedang engkau bangun—tahukah engkau apakah istana ini akan menghadap ke timur, atau barat, atau utara, atau selatan, atau apakah istana ini akan tinggi, rendah atau sedang?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan mengatakan: “Jadi, engkau tidak mengetahui atau melihat bentuk istana yang tangganya sedang engkau bangun?” dan ia akan menjawab: “Tidak.” Bukankah kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

seperti paragraf 34

‘Poṭṭhapāda, ada tiga jenis ‘diri yang diperoleh’: diri yang kasar, diri yang ciptaan-pikiran, dan diri yang tanpa bentuk. Apakah diri yang kasar? Diri ini berbentuk, tersusun dari empat unsur utama, memakan makanan padat. Apakah diri yang ciptaan-pikiran? Diri ini berbentuk, lengkap dengan semua bagian-bagiannya, tidak cacat dalam semua organ-indria. Apakah diri yang tanpa bentuk? Diri ini tanpa bentuk, dan terbuat dari persepsi.

‘Tetapi Aku mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang kasar, yang mana kondisi pikiran yang mengotori lenyap dan kondisi yang condong ke arah pemurnian tumbuh lebih kuat, dan seseorang memperoleh dan berdiam dalam kemurnian dan kesempurnaan kebijaksanaan di sini dan saat ini, setelah menembus dan mencapainya dengan pengetahuan-supernya. Sekarang, Poṭṭhapāda, engkau mungkin berpikir: “Mungkin kondisi-kondisi pikiran yang mengotori ini akan lenyap … dan seseorang masih tidak bahagia.” Janganlah dianggap demikian, jika kondisi-kondisi yang mengotori lenyap … , tidak ada apapun selain kebahagiaan dan kegembiraan yang berkembang, ketenangan, perhatian dan kesadaran jernih—dan itu adalah kondisi bahagia.

‘Aku juga mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang ciptaan-pikiran … seperti paragraf 40.

‘Aku juga mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang tanpa bentuk … seperti paragraf 40.

‘Poṭṭhapāda, jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah, teman, diri yang kasar, yang cara meninggalkannya Engkau ajarkan … ?” jika ditanya demikian, kita harus menjawab: “Ini adalah diri yang kasar yang harus ditinggalkan yang tentangnya kami mengajarkan suatu ajaran … ”

‘jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang ciptaan pikiran … ?” seperti paragraf 43.

‘jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang tanpa bentuk … ?” seperti paragraf 43. Bagaimana menurutmu, Poṭṭhapāda? Tidakkah pernyataan ini terbukti masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

‘Bagaikan seseorang yang membangun sebuah tangga untuk suatu istana di bawah istana itu. Mereka akan berkata kepadanya: “Tangga untuk istana yang sedang engkau bangun ini, tahukah engkau apakah istana ini akan menghadap ke timur atau barat, atau utara atau selatan, atau apakah istananya tinggi, rendah atau sedang?” dan ia akan berkata: “Tangga ini berada tepat di bawah istana ini.” Tidakkah engkau berpikir bahwa pernyataan orang itu masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

‘Demikian pula, Poṭṭhapāda, jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang kasar … ?” “Apakah diri yang ciptaan pikiran … ?” “Apakah diri yang tanpa bentuk … ?” kita menjawab: “Ini adalah diri [yang kasar, yang ciptaan-pikiran, yang tanpa bentuk] yang untuk terbebas darinya kami mengajarkan suatu ajaran, yang mana kondisi pikiran yang mengotori lenyap dan kondisi yang condong ke arah pemurnian tumbuh lebih kuat, dan seseorang memperoleh dan berdiam dalam kemurnian dan kesempurnaan kebijaksanaan di sini dan saat ini, setelah menembus dan mencapainya dengan pengetahuan-supernya.” Tidakkah pernyataan ini terbukti masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

Mendengar kata-kata ini, Citta, putra seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Bhagavā, ketika diri yang kasar ada, salahkah untuk menganggap bahwa diri yang ciptaan pikiran dan diri yang tanpa bentuk juga ada? Apakah hanya diri yang kasar saja yang ada? Dan demkian pula halnya untuk diri yang ciptaan pikiran dan diri yang tanpa bentuk?’

‘Citta, ketika diri yang kasar ada, kita pada saat yang sama tidak membicarakan tentang diri yang ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan tentang diri yang tanpa bentuk. Kita hanya membicarakan diri yang kasar. Ketika diri yang ciptaan pikiran ada, kita hanya membicarakan diri yang ciptaan pikiran, dan ketika diri yang tanpa bentuk ada, kita hanya membicarakan diri yang tanpa bentuk.

‘Citta, jika mereka bertanya kepadamu: “Apakah engkau ada di masa lampau atau tidak, akankah engkau ada di masa depan atau tidak, apakah engkau ada di masa sekarang atau tidak?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’

‘Bhagavā, jika aku ditanya demikian, aku akan menjawab: “Aku ada di masa lampau, aku tidak ada; aku akan ada di masa depan, aku tidak akan ada; aku ada sekarang, aku tidak ada.” Itu, Bhagavā, adalah jawabanku.’

‘Tetapi, Citta, jika mereka bertanya: “Diri di masa lampau yang engkau miliki, apakah itu adalah satu-satunya diri yang sebenarnya, dan yang di masa depan dan di masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya? Atau apakah yang akan engkau miliki di masa depan adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa sekarang adalah bukan? Atau apakah yang engkau miliki di masa sekarang adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa depan adalah bukan?” bagaimanakah engkau menjawabnya?’

‘Bhagavā, jika mereka menanyakan hal-hal ini kepadaku, aku akan menjawab: “Diri di masa lampau adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa depan dan di masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya. Diri di masa depan adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa sekarang adalah bukan. Diri di masa sekarang adalah pada saat ini yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa depan adalah bukan sebenarnya.” Demikianlah jawabanku.’

‘Demikian pula, Citta, ketika diri yang kasar ada, kita tidak, pada saat yang sama membicarakan diri yang ciptaan pikiran … [atau] diri yang tanpa bentuk.

‘Demikian pula, Citta, dari sapi kita memperoleh susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim ghee. Dan ketika ada susu, kita tidak membicarakan dadih, mentega, ghee, krim ghee, kita membicarakan susu; ketika ada dadih, kita tidak membicarakan mentega … ; ketika ada krim ghee … kita membicarakan krim ghee.

‘Demikian pula, ketika ada diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan pikiran atau diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan diri yang kasar atau diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang tanpa bentuk, kita tidak membicarakan diri yang kasar atau diri yang ciptaan pikiran, kita membicarakan diri yang tanpa bentuk. Tetapi, Citta, semua ini hanyalah sekedar nama, ungkapan, kata-kata, penandaan yang digunakan oleh Sang Tathàgata tanpa kesalah-pahaman.’

Dan mendengar kata-kata ini, Poṭṭhapāda si pengembara berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terbalik, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Sudilah Bhagavā menerimaku sebagai seorang siswa-awam yang telah menerima perlindungan dalam diriNya sejak hari ini hingga akhir hidupku!’

Tetapi Citta, putra seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terbalik, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga aku, Bhagavā, menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā, semoga aku menerima penahbisan!’

Dan Citta, putra seorang pelatih gajah, menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā, dan penahbisan. Dan Yang Mulia Citta yang baru ditahbiskan, sendirian, terasing, tanpa lelah, bersemangat dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga yang baik yang meninggalkan rumah menuju kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini dengan pengetahuan-super-nya sendiri dan berdiam di sana, mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’

Dan Yang Mulia Citta, putra si pelatih gajah menjadi salah satu di antara para Arahant.

Long Discourses 9
With Poṭṭhapāda
1. On the Wanderer Poṭṭhapāda
So I have heard. At one time the Buddha was staying near Sāvatthī in Jeta’s Grove, Anāthapiṇḍika’s monastery.

Now at that time the wanderer Poṭṭhapāda was residing together with three hundred wanderers in Mallikā’s single-halled monastery for group debates, set among the flaking pale-moon ebony trees. Then the Buddha robed up in the morning and, taking his bowl and robe, entered Sāvatthī for alms.

Then it occurred to him, “It’s too early to wander for alms in Sāvatthī. Why don’t I go to Mallikā’s monastery to visit the wanderer Poṭṭhapāda?” So that’s what he did.

Now at that time, Poṭṭhapāda was sitting together with a large assembly of wanderers making an uproar, a dreadful racket. They engaged in all kinds of unworthy talk, such as talk about kings, bandits, and ministers; talk about armies, threats, and wars; talk about food, drink, clothes, and beds; talk about garlands and fragrances; talk about family, vehicles, villages, towns, cities, and countries; talk about women and heroes; street talk and well talk; talk about the departed; motley talk; tales of land and sea; and talk about being reborn in this or that state of existence.

Poṭṭhapāda saw the Buddha coming off in the distance, and hushed his own assembly, “Be quiet, good sirs, don’t make a sound. Here comes the ascetic Gotama. The venerable likes quiet and praises quiet. Hopefully if he sees that our assembly is quiet he’ll see fit to approach.” Then those wanderers fell silent.

Then the Buddha approached Poṭṭhapāda, who said to him, “Come, Blessed One! Welcome, Blessed One! It’s been a long time since you took the opportunity to come here. Please, sir, sit down, this seat is ready.”

The Buddha sat on the seat spread out, while Poṭṭhapāda took a low seat and sat to one side. The Buddha said to him, “Poṭṭhapāda, what were you sitting talking about just now? What conversation was unfinished?”

1.1. On the Cessation of Perception
When he said this, the wanderer Poṭṭhapāda said to the Buddha, “Sir, leave aside what we were sitting talking about just now. It won’t be hard for you to hear about that later.

Sir, a few days ago several ascetics and brahmins who follow various other paths were sitting together at the debating hall, and this discussion came up among them: ‘How does the cessation of perception happen?’

Some of them said: ‘A person’s perceptions arise and cease without cause or reason. When they arise, you become percipient. When they cease, you become non-percipient.’ That’s how some describe the cessation of perception.

But someone else says: ‘That’s not how it is, gentlemen ! Perception is a person’s self, When it enters, you become percipient. When it departs, you become non-percipient.’ That’s how some describe the cessation of perception.

But someone else says: ‘That’s not how it is, gentlemen ! There are ascetics and brahmins of great power and might. They insert and extract a person’s perception. When they insert it, you become percipient. When they extract it, you become non-percipient.’ That’s how some describe the cessation of perception.

But someone else says: ‘That’s not how it is, gentlemen ! There are deities of great power and might. They insert and extract a person’s perception. When they insert it, you become percipient. When they extract it, you become non-percipient.’ That’s how some describe the cessation of perception.

That reminded me of the Buddha: ‘Surely it must be the Blessed One, the Holy One who is so skilled in such matters.’ The Buddha is skilled and well-versed in the cessation of perception. How does the cessation of perception happen?”

1.2. Perception Arises With a Cause
“Regarding this, Poṭṭhapāda, those ascetics and brahmins who say that a person’s perceptions arise and cease without cause or reason are wrong from the start. Why is that? Because a person’s perceptions arise and cease with cause and reason. With training, certain perceptions arise and certain perceptions cease.

And what is that training?” said the Buddha.

“It’s when a Realized One arises in the world, perfected, a fully awakened Buddha … That’s how a mendicant is accomplished in ethics. … Seeing that the hindrances have been given up in them, joy springs up. Being joyful, rapture springs up. When the mind is full of rapture, the body becomes tranquil. When the body is tranquil, they feel bliss. And when blissful, the mind becomes immersed. Quite secluded from sensual pleasures, secluded from unskillful qualities, they enter and remain in the first absorption, which has the rapture and bliss born of seclusion, while placing the mind and keeping it connected. The sensual perception that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of the rapture and bliss born of seclusion. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Furthermore, as the placing of the mind and keeping it connected are stilled, a mendicant enters and remains in the second absorption, which has the rapture and bliss born of immersion, with internal clarity and confidence, and unified mind, without placing the mind and keeping it connected. The subtle and true perception of the rapture and bliss born of seclusion that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of the rapture and bliss born of immersion. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Furthermore, with the fading away of rapture, a mendicant enters and remains in the third absorption, where they meditate with equanimity, mindful and aware, personally experiencing the bliss of which the noble ones declare, ‘Equanimous and mindful, one meditates in bliss.’ The subtle and true perception of the rapture and bliss born of immersion that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of equanimous bliss. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Furthermore, giving up pleasure and pain, and ending former happiness and sadness, a mendicant enters and remains in the fourth absorption, without pleasure or pain, with pure equanimity and mindfulness. The subtle and true perception of equanimous bliss that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of neutral feeling. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Furthermore, a mendicant, going totally beyond perceptions of form, with the ending of perceptions of impingement, not focusing on perceptions of diversity, aware that ‘space is infinite’, enters and remains in the dimension of infinite space. The perception of luminous form that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of the dimension of infinite space. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Furthermore, a mendicant, going totally beyond the dimension of infinite space, aware that ‘consciousness is infinite’, enters and remains in the dimension of infinite consciousness. The subtle and true perception of the dimension of infinite space that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of the dimension of infinite consciousness. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Furthermore, a mendicant, going totally beyond the dimension of infinite consciousness, aware that ‘there is nothing at all’, enters and remains in the dimension of nothingness. The subtle and true perception of the dimension of infinite consciousness that they had previously ceases. At that time they have a subtle and true perception of the dimension of nothingness. That’s how, with training, certain perceptions arise and certain perceptions cease. And this is that training,” said the Buddha.

“Poṭṭhapāda, from the time a mendicant here takes responsibility for their own perception, they proceed from one stage to the next, gradually reaching the peak of perception. Standing on the peak of perception they think, ‘Intentionality is bad for me, it’s better to be free of it. For if I were to intend and choose, these perceptions would cease in me, and other coarser perceptions would arise. Why don’t I neither make a choice nor form an intention?’ They neither make a choice nor form an intention. Those perceptions cease in them, and other coarser perceptions don’t arise. They touch cessation. And that, Poṭṭhapāda, is how the gradual cessation of perception is attained with awareness.

What do you think, Poṭṭhapāda? Have you ever heard of this before?”

“No, sir. This is how I understand what the Buddha said: ‘From the time a mendicant here takes responsibility for their own perception, they proceed from one stage to the next, gradually reaching the peak of perception. Standing on the peak of perception they think, “Intentionality is bad for me, it’s better to be free of it. For if I were to intend and choose, these perceptions would cease in me, and other coarser perceptions would arise. Why don’t I neither make a choice nor form an intention?” Those perceptions cease in them, and other coarser perceptions don’t arise. They touch cessation. And that is how the gradual cessation of perception is attained with awareness.’”

“That’s right, Poṭṭhapāda.”

“Does the Buddha describe just one peak of perception, or many?”

“I describe the peak of perception as both one and many.”

“But sir, how do you describe it as one peak and as many?”

“I describe the peak of perception according to the specific manner in which one touches cessation. That’s how I describe the peak of perception as both one and many.”

“But sir, does perception arise first and knowledge afterwards? Or does knowledge arise first and perception afterwards? Or do they both arise at the same time?”

“Perception arises first and knowledge afterwards. The arising of perception leads to the arising of knowledge. They understand, ‘My knowledge arose from a specific condition.’ That is a way to understand how perception arises first and knowledge afterwards; that the arising of perception leads to the arising of knowledge.”

1.3. Perception and the Self
“Sir, is perception a person’s self, or are perception and self different things?”

“But Poṭṭhapāda, do you believe in a self?”

“I believe in a substantial self, sir, which is physical, made up of the four primary elements, and consumes solid food.”

“Suppose there were such a substantial self, Poṭṭhapāda. In that case, perception would be one thing, the self another. Here is another way to understand how perception and self are different things. So long as that substantial self remains, still some perceptions arise in a person and others cease. That is a way to understand how perception and self are different things.”

“Sir, I believe in a mind-made self which is complete in all its various parts, not deficient in any faculty.”

“Suppose there were such a mind-made self, Poṭṭhapāda. In that case, perception would be one thing, the self another. Here is another way to understand how perception and self are different things. So long as that mind-made self remains, still some perceptions arise in a person and others cease. That too is a way to understand how perception and self are different things.”

“Sir, I believe in a non-physical self which is made of perception.”

“Suppose there were such a non-physical self, Poṭṭhapāda. In that case, perception would be one thing, the self another. Here is another way to understand how perception and self are different things. So long as that non-physical self remains, still some perceptions arise in a person and others cease. That too is a way to understand how perception and self are different things.”

“But, sir, am I able to know whether perception is a person’s self, or whether perception and self are different things?”

“It’s hard for you to understand this, since you have a different view, creed, preference, practice, and tradition.”

“Well, if that’s the case, sir, then is this right: ‘The cosmos is eternal. This is the only truth, anything else is wrong’?”

“This has not been declared by me, Poṭṭhapāda.”

“Then is this right: ‘The cosmos is not eternal. This is the only truth, anything else is wrong’?”

“This too has not been declared by me.”

“Then is this right: ‘The cosmos is finite …’ … ‘The cosmos is infinite …’ … ‘The soul and the body are the same thing …’ … ‘The soul and the body are different things …’ … ‘A Realized One exists after death …’ … ‘A Realized One doesn’t exist after death …’ … ‘A Realized One both exists and doesn’t exist after death …’ … ‘A Realized One neither exists nor doesn’t exist after death. This is the only truth, anything else is wrong’?”

“This too has not been declared by me.”

“Why haven’t these things been declared by the Buddha?”

“Because they’re not beneficial or relevant to the fundamentals of the spiritual life. They don’t lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That’s why I haven’t declared them.”

“Then what has been declared by the Buddha?”

“I have declared this: ‘This is suffering’ … ‘This is the origin of suffering’ … ‘This is the cessation of suffering’ … ‘This is the practice that leads to the cessation of suffering’.”

“Why have these things been declared by the Buddha?”

“Because they are beneficial and relevant to the fundamentals of the spiritual life. They lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That’s why I have declared them.”

“That’s so true, Blessed One! That’s so true, Holy One! Please, sir, go at your convenience.” Then the Buddha got up from his seat and left.

Soon after the Buddha left, those wanderers gave Poṭṭhapāda a comprehensive tongue-lashing, “No matter what the ascetic Gotama says, Poṭṭhapāda agrees with him: ‘That’s so true, Blessed One! That’s so true, Holy One!’ We understand that the ascetic Gotama didn’t make any definitive statement at all regarding whether the cosmos is eternal and so on.”

When they said this, Poṭṭhapāda said to them, “I too understand that the ascetic Gotama didn’t make any definitive statement at all regarding whether the cosmos is eternal and so on. Nevertheless, the practice that he describes is true, real, and accurate. It is the regularity of natural principles, the invariance of natural principles. So how could a sensible person such as I not agree that what was well spoken by the ascetic Gotama was in fact well spoken?”

2. On Citta Hatthisāriputta
Then after two or three days had passed, Citta Hatthisāriputta and Poṭṭhapāda went to see the Buddha. Citta Hatthisāriputta bowed and sat down to one side. But the wanderer Poṭṭhapāda exchanged greetings with the Buddha, and when the greetings and polite conversation were over, he sat down to one side. Poṭṭhapāda told the Buddha what had happened after he left. The Buddha said:

“All those wanderers, Poṭṭhapāda, are blind and sightless. You are the only one who sees. For I have taught and pointed out both things that are definitive and things that are not definitive.

And what things have I taught and pointed out that are not definitive? ‘The cosmos is eternal’ … ‘The cosmos is not eternal’ … ‘The cosmos is finite’ … ‘The cosmos is infinite’ … ‘The soul is the same thing as the body’ … ‘The soul and the body are different things’ … ‘A Realized One exists after death’ … ‘A Realized One doesn’t exist after death’ … ‘A Realized One both exists and doesn’t exist after death’ … ‘A Realized One neither exists nor doesn’t exist after death.’

And why haven’t I taught and pointed out such things that are not definitive? Because those things aren’t beneficial or relevant to the fundamentals of the spiritual life. They don’t lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That’s why I haven’t taught and pointed them out.

2.1. Things That Are Definitive
And what things have I taught and pointed out that are definitive? ‘This is suffering’ … ‘This is the origin of suffering’ … ‘This is the cessation of suffering’ … ‘This is the practice that leads to the cessation of suffering’.”

And why have I taught and pointed out such things that are definitive? Because they are beneficial and relevant to the fundamentals of the spiritual life. They lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. That’s why I have taught and pointed them out.

There are some ascetics and brahmins who have this doctrine and view: ‘The self is exclusively happy and is well after death.’ I go up to them and say, ‘Is it really true that this is the venerables’ view?’ And they answer, ‘Yes’. I say to them, ‘But do you meditate knowing and seeing an exclusively happy world?’ Asked this, they say, ‘No.’

I say to them, ‘But have you perceived an exclusively happy self for a single day or night, or even half a day or night?’ Asked this, they say, ‘No.’

I say to them, ‘But do you know a path and a practice to realize an exclusively happy world?’ Asked this, they say, ‘No.’

I say to them, ‘But have you ever heard the voice of the deities reborn in an exclusively happy world saying, “Practice well, dear sirs, practice directly so as to realize an exclusively happy world. For this is how we practiced, and we were reborn in an exclusively happy world”?’ Asked this, they say, ‘No.’

What do you think, Poṭṭhapāda? This being so, doesn’t what they say turn out to have no demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

“Suppose, Poṭṭhapāda, a man were to say: ‘Whoever the finest lady in the land is, it is her that I want, her that I desire!’ They’d say to him, ‘Mister, that finest lady in the land who you desire—do you know whether she’s an aristocrat, a brahmin, a merchant, or a worker?’ Asked this, he’d say, ‘No.’ They’d say to him, ‘Mister, that finest lady in the land who you desire—do you know her name or clan? Whether she’s tall or short or medium? Whether her skin is black, brown, or tawny? What village, town, or city she comes from?’ Asked this, he’d say, ‘No.’ They’d say to him, ‘Mister, do you desire someone who you’ve never even known or seen?’ Asked this, he’d say, ‘Yes.’

What do you think, Poṭṭhapāda? This being so, doesn’t that man’s statement turn out to have no demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

“In the same way, the ascetics and brahmins who have those various doctrines and views …

 

Doesn’t what they say turn out to have no demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

“Suppose a man was to build a ladder at the crossroads for climbing up to a stilt longhouse. They’d say to him, ‘Mister, that stilt longhouse that you’re building a ladder for—do you know whether it’s to the north, south, east, or west? Or whether it’s tall or short or medium?’ Asked this, he’d say, ‘No.’ They’d say to him, ‘Mister, are you building a ladder for a longhouse that you’ve never even known or seen?’ Asked this, he’d say, ‘Yes.’

What do you think, Poṭṭhapāda? This being so, doesn’t that man’s statement turn out to have no demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

“In the same way, the ascetics and brahmins who have those various doctrines and views …

 

Doesn’t what they say turn out to have no demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

2.2. Three Kinds of Reincarnation
“Poṭṭhapāda, there are these three kinds of reincarnation: a substantial reincarnation, a mind-made reincarnation, and a non-physical reincarnation. And what is a substantial reincarnation? It is physical, made up of the four primary elements, and consumes solid food. What is a mind-made reincarnation? It is physical, mind-made, complete in all its various parts, not deficient in any faculty. What is a non-physical reincarnation? It is non-physical, made of perception.

I teach the Dhamma for the giving up of these three kinds of reincarnation: ‘When you practice accordingly, corrupting qualities will be given up in you and cleansing qualities will grow. You’ll enter and remain in the fullness and abundance of wisdom, having realized it with your own insight in this very life.’ Poṭṭhapāda, you might think: ‘Corrupting qualities will be given up and cleansing qualities will grow. One will enter and remain in the fullness and abundance of wisdom, having realized it with one’s own insight in this very life. But such a life is suffering.’ But you should not see it like this. Corrupting qualities will be given up and cleansing qualities will grow. One will enter and remain in the fullness and abundance of wisdom, having realized it with one’s own insight in this very life. And there will be only joy and happiness, tranquility, mindfulness and awareness. Such a life is blissful.

 

If others should ask us, ‘But reverends, what is that substantial reincarnation?’ We’d answer like this, ‘This is that substantial reincarnation.’

If others should ask us, ‘But reverends, what is that mind-made reincarnation?’ We’d answer like this, ‘This is that mind-made reincarnation.’

If others should ask us, ‘But reverends, what is that non-physical reincarnation?’ We’d answer like this, ‘This is that non-physical reincarnation.’

What do you think, Poṭṭhapāda? This being so, doesn’t that statement turn out to have a demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

“Suppose a man were to build a ladder for climbing up to a stilt longhouse right underneath that longhouse. They’d say to him, ‘Mister, that stilt longhouse that you’re building a ladder for—do you know whether it’s to the north, south, east, or west? Or whether it’s tall or short or medium?’ He’d say, ‘This is that stilt longhouse for which I’m building a ladder, right underneath it.’

What do you think, Poṭṭhapāda? This being so, doesn’t that man’s statement turn out to have a demonstrable basis?”

“Clearly that’s the case, sir.”

 

When the Buddha had spoken, Citta Hatthisāriputta said, “Sir, while in a substantial reincarnation, are the mind-made and non-physical reincarnations fictitious, and only the substantial reincarnation real? While in a mind-made reincarnation, are the substantial and non-physical reincarnations fictitious, and only the mind-made reincarnation real? While in a non-physical reincarnation, are the substantial and mind-made reincarnations fictitious, and only the non-physical reincarnation real?”

“While in a substantial reincarnation, it’s not referred to as a mind-made or non-physical reincarnation, only as a substantial reincarnation. While in a mind-made reincarnation, it’s not referred to as a substantial or non-physical reincarnation, only as a mind-made reincarnation. While in a non-physical reincarnation, it’s not referred to as a substantial or mind-made reincarnation, only as a non-physical reincarnation.

Citta, suppose they were to ask you, ‘Did you exist in the past? Will you exist in the future? Do you exist now?’ How would you answer?”

“Sir, if they were to ask me this, I’d answer like this, ‘I existed in the past. I will exist in the future. I exist now.’ That’s how I’d answer.”

“But Citta, suppose they were to ask you, ‘Is the reincarnation you had in the past your only real one, and those of the future and present fictitious? Is the reincarnation you will have in the future your only real one, and those of the past and present fictitious? Is the reincarnation you have now your only real one, and those of the past and future fictitious?’ How would you answer?”

“Sir, if they were to ask me this, I’d answer like this, ‘The reincarnation I had in the past was real at that time, and those of the future and present fictitious. The reincarnation I will have in the future will be real at the time, and those of the past and present fictitious. The reincarnation I have now is real at this time, and those of the past and future fictitious.’ That’s how I’d answer.”

“In the same way, while in any one of the three reincarnations, it’s not referred to as the other two, only under its own name.

From a cow comes milk, from milk comes curds, from curds come butter, from butter comes ghee, and from ghee comes cream of ghee. And the cream of ghee is said to be the best of these. While it’s milk, it’s not referred to as curds, butter, ghee, or cream of ghee. It’s only referred to as milk. While it’s curd or butter or ghee or cream of ghee, it’s not referred to as anything else, only under its own name. In the same way, while in any one of the three reincarnations, it’s not referred to as the other two, only under its own name. These are the world’s usages, terms, expressions, and descriptions, which the Realized One uses without misapprehending them.”

When he had spoken, the wanderer Poṭṭhapāda said to the Buddha, “Excellent, sir! Excellent! As if he were righting the overturned, or revealing the hidden, or pointing out the path to the lost, or lighting a lamp in the dark so people with good eyes can see what’s there, so too the Buddha has made the teaching clear in many ways. I go for refuge to the Buddha, to the teaching, and to the mendicant Saṅgha. From this day forth, may the Buddha remember me as a lay follower who has gone for refuge for life.”

2.3. The Ordination of Citta Hatthisāriputta
But Citta Hatthisāriputta said to the Buddha, “Excellent, sir! Excellent! As if he were righting the overturned, or revealing the hidden, or pointing out the path to the lost, or lighting a lamp in the dark so people with good eyes can see what’s there, so too the Buddha has made the teaching clear in many ways. I go for refuge to the Buddha, to the teaching, and to the mendicant Saṅgha. Sir, may I receive the going forth, the ordination in the Buddha’s presence?”

And Citta Hatthisāriputta received the going forth, the ordination in the Buddha’s presence. Not long after his ordination, Venerable Citta Hatthisāriputta, living alone, withdrawn, diligent, keen, and resolute, soon realized the supreme end of the spiritual path in this very life. He lived having achieved with his own insight the goal for which gentlemen rightly go forth from the lay life to homelessness. He understood: “Rebirth is ended; the spiritual journey has been completed; what had to be done has been done; there is no return to any state of existence.” And Venerable Citta Hatthisāriputta became one of the perfected.

Related Articles

bgf

Tantra

Two Truths, October 2014 – Bodh Gaya, India – Part 2 / 二諦 第二集 (宗薩欽哲仁波切)

Two Truths, October 2014 - Bodh Gaya, India - Part 2 / 二諦 第二集 (宗薩欽哲仁波切) by Dzongsar Jamyang Khyentse...

Most Popular

Nagarjuna’s Aspiration

Nagarjuna's Aspiration ******************************************************* . L1 : [Taking refuge & humbling oneself] . \ Prostration to...

Prajnaparamita Sutra Nepal 2017 – Part 4 / 《般若波羅密多心經》 第四集 (宗薩欽哲仁波切)

Prajnaparamita Sutra Nepal 2017 - Part 4 / 《般若波羅密多心經》 第四集 (宗薩欽哲仁波切) by Dzongsar Jamyang Khyentse...

Cetanā Sutta – SN 12.38

Saṁyutta Nikāya Kelompok Khotbah tentang Penyebab 12.38. Kehendak (1) Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apa yang dikehendaki...

Pencapaian Jhana – Mogallana – SN40.1

Saṁyutta Nikāya Kelompok Khotbah tentang Moggallāna 40.1. Jhāna Pertama Pada suatu ketika Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang menetap di...

Prajnaparamita Sutra Nepal 2017 – Part 8 / 《般若波羅密多心經》 第八集 (宗薩欽哲仁波切)

Prajnaparamita Sutra Nepal 2017 - Part 8 / 《般若波羅密多心經》 第八集 (宗薩欽哲仁波切) by Dzongsar Jamyang Khyentse...

Prajnaparamita Sutra Nepal 2017 – Part 3 / 《般若波羅密多心經》 第三集 (宗薩欽哲仁波切)

Prajnaparamita Sutra Nepal 2017 - Part 3 / 《般若波羅密多心經》 第三集 (宗薩欽哲仁波切) by Dzongsar Jamyang Khyentse...

Samādhibhāvanā Sutta – AN 4.41

Aṅguttara Nikāya Buku v. Rohitassa 4.41. Pengembangan lebih lanjut “Para bhikkhu, ada empat pengembangan konsentrasi ini. Apakah...
bgf