- Majjhima Nikāya 1. Mūlapariyāya Sutta
Akar Segala Sesuatu
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”—“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan sebuah khotbah kepada kalian tentang akar dari segala sesuatu. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”—“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
Orang Biasa
“Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, mempersepsikan tanah sebagai tanah. Setelah mempersepsikan tanah sebagai tanah, ia menganggap dirinya sebagai tanah, ia menganggap dirinya dalam tanah, ia menganggap dirinya terpisah dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan air sebagai air. Setelah mempersepsikan air sebagai air, ia menganggap dirinya sebagai air, ia menganggap dirinya dalam air, ia menganggap dirinya terpisah dari air, ia menganggap air sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam air. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan api sebagai api. Setelah mempersepsikan api sebagai api, ia menganggap dirinya sebagai api, ia menganggap dirinya dalam api, ia menganggap dirinya terpisah dari api, ia menganggap api sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam api. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan udara sebagai udara. Setelah mempersepsikan udara sebagai udara, ia menganggap dirinya sebagai udara, ia menganggap dirinya dalam udara, ia menganggap dirinya terpisah dari udara, ia menganggap udara sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam udara. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk. Setelah mempersepsikan makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk, ia membayangkan makhluk-makhluk, ia menganggap dirinya dalam makhluk-makhluk, ia menganggap dirinya terpisah dari makhluk-makhluk, ia menganggap makhluk-makhluk sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam makhluk-makhluk. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan dewa-dewa sebagai dewa-dewa. Setelah mempersepsikan dewa-dewa sebagai dewa-dewa, ia membayangkan dewa-dewa, ia menganggap dirinya dalam dewa-dewa, ia menganggap dirinya terpisah dari dewa-dewa, ia menganggap dewa-dewa sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam dewa-dewa. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan Pajāpati sebagai Pajāpati. Setelah mempersepsikan Pajāpati sebagai Pajāpati, ia membayangkan Pajāpati, ia menganggap dirinya dalam Pajāpati, ia menganggap dirinya terpisah dari Pajāpati, ia menganggap Pajāpati sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Pajāpati. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan Brahmā sebagai Brahmā. Setelah mempersepsikan Brahmā sebagai Brahmā, ia membayangkan Brahmā, ia menganggap dirinya dalam Brahmā, ia menganggap dirinya terpisah dari Brahmā, ia menganggap Brahmā sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Brahmā. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap. Setelah mempersepsikan para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia membayangkan para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap dirinya dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap dirinya terpisah dari para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang. Setelah mempersepsikan para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia membayangkan para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap dirinya dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap dirinya terpisah dari para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar. Setelah mempersepsikan para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar, ia membayangkan para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap dirinya dalam para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap dirinya terpisah dari para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap para dewa dengan Buah Besar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Buah Besar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan raja sebagai raja. Setelah mempersepsikan raja sebagai raja, ia membayangkan raja, ia menganggap dirinya dalam raja, ia menganggap dirinya terpisah dari raja, ia menganggap raja sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam raja. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas. Setelah mempersepsikan landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas, ia menganggap dirinya sebagai landasan ruang tanpa batas, ia menganggap dirinya dalam landasan ruang tanpa batas, ia menganggap dirinya terpisah dari landasan ruang tanpa batas, ia menganggap landasan ruang tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan ruang tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah mempersepsikan landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap dirinya sebagai landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap dirinya dalam landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap dirinya terpisah dari landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap landasan kesadaran tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kesadaran tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan. Setelah mempersepsikan landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan, ia menganggap dirinya sebagai landasan kekosongan, ia menganggap dirinya dalam landasan kekosongan, ia menganggap dirinya terpisah dari landasan kekosongan, ia menganggap landasan kekosongan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kekosongan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah mempersepsikan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap dirinya sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap dirinya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap dirinya terpisah dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan yang terlihat sebagai yang terlihat. Setelah mempersepsikan yang terlihat sebagai yang terlihat, ia menganggap dirinya sebagai yang terlihat, ia menganggap dirinya dalam yang terlihat, ia menganggap dirinya terpisah dari yang terlihat, ia menganggap yang terlihat sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terlihat. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan yang terdengar sebagai yang terdengar. Setelah mempersepsikan yang terdengar sebagai yang terdengar, ia menganggap dirinya sebagai yang terdengar, ia menganggap dirinya dalam yang terdengar, ia menganggap dirinya terpisah dari yang terdengar, ia menganggap yang terdengar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terdengar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan yang tercerap sebagai yang tercerap. Setelah mempersepsikan yang tercerap sebagai yang tercerap, ia menganggap dirinya sebagai yang tercerap, ia menganggap dirinya dalam yang tercerap, ia menganggap dirinya terpisah dari yang tercerap, ia menganggap yang tercerap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang tercerap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan yang dikenali sebagai yang dikenali. Setelah mempersepsikan yang dikenali sebagai yang dikenali, ia menganggap dirinya sebagai yang dikenali, ia menganggap dirinya dalam yang dikenali, ia menganggap dirinya terpisah dari yang dikenali, ia menganggap yang dikenali sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang dikenali. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan kesatuan sebagai kesatuan. Setelah mempersepsikan kesatuan sebagai kesatuan, ia menganggap dirinya sebagai kesatuan, ia menganggap dirinya dalam kesatuan, ia menganggap dirinya terpisah dari kesatuan, ia menganggap kesatuan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam kesatuan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan keberagaman sebagai keberagaman. Setelah mempersepsikan keberagaman sebagai keberagaman, ia menganggap dirinya sebagai keberagaman, ia menganggap dirinya dalam keberagaman, ia menganggap dirinya terpisah dari keberagaman, ia menganggap keberagaman sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keberagaman. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan keseluruhan sebagai keseluruhan. Setelah mempersepsikan keseluruhan sebagai keseluruhan, ia menganggap dirinya sebagai keseluruhan, ia menganggap dirinya dalam keseluruhan, ia menganggap dirinya terpisah dari keseluruhan, ia menganggap keseluruhan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keseluruhan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
“Ia mempersepsikan Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah mempersepsikan Nibbāna sebagai Nibbāna, ia menganggap dirinya sebagai Nibbāna, ia menganggap dirinya dalam Nibbāna, ia menganggap dirinya terpisah dari Nibbāna, ia menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.
Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sedang dalam latihan yang lebih tinggi, yang pikirannya masih belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia seharusnya tidak menganggap dirinya sebagai tanah, ia seharusnya tidak menganggap dirinya dalam tanah, ia seharusnya tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, ia seharusnya tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.
“Ia secara langsung mengetahui air sebagai air … Ia secara langsung mengetahui keseluruhan sebagai keseluruhan.
“Ia secara langsung mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap dirinya sebagai Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap dirinya dalam Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap dirinya terpisah dari Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.
Arahant—I
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya dalam tanah, ia tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.
“Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.
Arahant—II
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya dalam tanah, ia tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.
“Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.
Arahant—III
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya dalam tanah, ia tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.
“Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.
Arahant—IV
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya sebagai tanah, ia tidak menganggap dirinya dalam tanah, ia tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari delusi melalui hancurnya delusi
“Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari delusi melalui hancurnya delusi.
Tathāgata—I
“Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap dirinya sebagai tanah, Beliau tidak menganggap dirinya dalam tanah, Beliau tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.
“Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.
Tathāgata—II
“Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap dirinya sebagai tanah, Beliau tidak menganggap dirinya dalam tanah, Beliau tidak menganggap dirinya terpisah dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan sebagai kondisi maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan ketagihan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.
“Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan sebagai kondisi maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan ketagihan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
- Middle Discourses 1
The Root of All Things
So I have heard. At one time the Buddha was staying near Ukkaṭṭhā, in the Subhaga Forest at the root of a magnificent sal tree. There the Buddha addressed the mendicants, “Mendicants!”
“Venerable sir,” they replied. The Buddha said this:
“Mendicants, I will teach you the explanation of the root of all things. Listen and pay close attention, I will speak.”
“Yes, sir,” they replied. The Buddha said this:
“Take an uneducated ordinary person who has not seen the noble ones, and is neither skilled nor trained in the teaching of the noble ones. They’ve not seen good persons, and are neither skilled nor trained in the teaching of the good persons. They perceive earth as earth. But then they identify with earth, they identify regarding earth, they identify as earth, they identify that ‘earth is mine’, they take pleasure in earth. Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive water as water. But then they identify with water … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive fire as fire. But then they identify with fire … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive air as air. But then they identify with air … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive creatures as creatures. But then they identify with creatures … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive gods as gods. But then they identify with gods … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the Creator as the Creator. But then they identify with the Creator … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive Brahmā as Brahmā. But then they identify with Brahmā … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the gods of streaming radiance as the gods of streaming radiance. But then they identify with the gods of streaming radiance … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the gods replete with glory as the gods replete with glory. But then they identify with the gods replete with glory … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the gods of abundant fruit as the gods of abundant fruit. But then they identify with the gods of abundant fruit … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the Overlord as the Overlord. But then they identify with the Overlord … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the dimension of infinite space as the dimension of infinite space. But then they identify with the dimension of infinite space … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the dimension of infinite consciousness as the dimension of infinite consciousness. But then they identify with the dimension of infinite consciousness … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the dimension of nothingness as the dimension of nothingness. But then they identify with the dimension of nothingness … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the dimension of neither perception nor non-perception as the dimension of neither perception nor non-perception. But then they identify with the dimension of neither perception nor non-perception … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the seen as the seen. But then they identify with the seen … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the heard as the heard. But then they identify with the heard … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the thought as the thought. But then they identify with the thought … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive the known as the known. But then they identify with the known … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive oneness as oneness. But then they identify with oneness … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive diversity as diversity. But then they identify with diversity … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive all as all. But then they identify with all … Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
They perceive extinguishment as extinguishment. But then they identify with extinguishment, they identify regarding extinguishment, they identify as extinguishment, they identify that ‘extinguishment is mine’, they take pleasure in extinguishment. Why is that? Because they haven’t completely understood it, I say.
A mendicant who is a trainee, who hasn’t achieved their heart’s desire, but lives aspiring to the supreme sanctuary, directly knows earth as earth. But they shouldn’t identify with earth, they shouldn’t identify regarding earth, they shouldn’t identify as earth, they shouldn’t identify that ‘earth is mine’, they shouldn’t take pleasure in earth. Why is that? So that they may completely understand it, I say.
They directly know water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … They directly know extinguishment as extinguishment. But they shouldn’t identify with extinguishment, they shouldn’t identify regarding extinguishment, they shouldn’t identify as extinguishment, they shouldn’t identify that ‘extinguishment is mine’, they shouldn’t take pleasure in extinguishment. Why is that? So that they may completely understand it, I say.
A mendicant who is perfected—with defilements ended, who has completed the spiritual journey, done what had to be done, laid down the burden, achieved their own true goal, utterly ended the fetters of rebirth, and is rightly freed through enlightenment—directly knows earth as earth. But they don’t identify with earth, they don’t identify regarding earth, they don’t identify as earth, they don’t identify that ‘earth is mine’, they don’t take pleasure in earth. Why is that? Because they have completely understood it, I say.
They directly know water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … They directly know extinguishment as extinguishment. But they don’t identify with extinguishment, they don’t identify regarding extinguishment, they don’t identify as extinguishment, they don’t identify that ‘extinguishment is mine’, they don’t take pleasure in extinguishment. Why is that? Because they have completely understood it, I say.
A mendicant who is perfected—with defilements ended, who has completed the spiritual journey, done what had to be done, laid down the burden, achieved their own true goal, utterly ended the fetters of rebirth, and is rightly freed through enlightenment—directly knows earth as earth. But they don’t identify with earth, they don’t identify regarding earth, they don’t identify as earth, they don’t identify that ‘earth is mine’, they don’t take pleasure in earth. Why is that? Because they’re free of greed due to the ending of greed.
They directly know water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … They directly know extinguishment as extinguishment. But they don’t identify with extinguishment, they don’t identify regarding extinguishment, they don’t identify as extinguishment, they don’t identify that ‘extinguishment is mine’, they don’t take pleasure in extinguishment. Why is that? Because they’re free of greed due to the ending of greed.
A mendicant who is perfected—with defilements ended, who has completed the spiritual journey, done what had to be done, laid down the burden, achieved their own true goal, utterly ended the fetters of rebirth, and is rightly freed through enlightenment—directly knows earth as earth. But they don’t identify with earth, they don’t identify regarding earth, they don’t identify as earth, they don’t identify that ‘earth is mine’, they don’t take pleasure in earth. Why is that? Because they’re free of hate due to the ending of hate.
They directly know water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … They directly know extinguishment as extinguishment. But they don’t identify with extinguishment, they don’t identify regarding extinguishment, they don’t identify as extinguishment, they don’t identify that ‘extinguishment is mine’, they don’t take pleasure in extinguishment. Why is that? Because they’re free of hate due to the ending of hate.
A mendicant who is perfected—with defilements ended, who has completed the spiritual journey, done what had to be done, laid down the burden, achieved their own true goal, utterly ended the fetters of rebirth, and is rightly freed through enlightenment—directly knows earth as earth. But they don’t identify with earth, they don’t identify regarding earth, they don’t identify as earth, they don’t identify that ‘earth is mine’, they don’t take pleasure in earth. Why is that? Because they’re free of delusion due to the ending of delusion.
They directly know water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … They directly know extinguishment as extinguishment. But they don’t identify with extinguishment, they don’t identify regarding extinguishment, they don’t identify as extinguishment, they don’t identify that ‘extinguishment is mine’, they don’t take pleasure in extinguishment. Why is that? Because they’re free of delusion due to the ending of delusion.
The Realized One, the perfected one, the fully awakened Buddha directly knows earth as earth. But he doesn’t identify with earth, he doesn’t identify regarding earth, he doesn’t identify as earth, he doesn’t identify that ‘earth is mine’, he doesn’t take pleasure in earth. Why is that? Because the Realized One has completely understood it to the end, I say.
He directly knows water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … He directly knows extinguishment as extinguishment. But he doesn’t identify with extinguishment, he doesn’t identify regarding extinguishment, he doesn’t identify as extinguishment, he doesn’t identify that ‘extinguishment is mine’, he doesn’t take pleasure in extinguishment. Why is that? Because the Realized One has completely understood it to the end, I say.
The Realized One, the perfected one, the fully awakened Buddha directly knows earth as earth. But he doesn’t identify with earth, he doesn’t identify regarding earth, he doesn’t identify as earth, he doesn’t identify that ‘earth is mine’, he doesn’t take pleasure in earth. Why is that? Because he has understood that relishing is the root of suffering, and that rebirth comes from continued existence; whoever has come to be gets old and dies. That’s why the Realized One—with the ending, fading away, cessation, giving up, and letting go of all cravings—has awakened to the supreme perfect Awakening, I say.
He directly knows water … fire … air … creatures … gods … the Creator … Brahmā … the gods of streaming radiance … the gods replete with glory … the gods of abundant fruit … the Overlord … the dimension of infinite space … the dimension of infinite consciousness … the dimension of nothingness … the dimension of neither perception nor non-perception … the seen … the heard … the thought … the known … oneness … diversity … all … He directly knows extinguishment as extinguishment. But he doesn’t identify with extinguishment, he doesn’t identify regarding extinguishment, he doesn’t identify as extinguishment, he doesn’t identify that ‘extinguishment is mine’, he doesn’t take pleasure in extinguishment. Why is that? Because he has understood that relishing is the root of suffering, and that rebirth comes from continued existence; whoever has come to be gets old and dies. That’s why the Realized One—with the ending, fading away, cessation, giving up, and letting go of all cravings—has awakened to the supreme perfect Awakening, I say.”
That is what the Buddha said. But the mendicants were not happy with what the Buddha said.