- Majjhima Nikāya
- 36. Mahāsaccaka Sutta
Khotbah Panjang kepada Saccaka
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.
Pada saat itu, di pagi hari, Sang Bhagavā telah merapikan jubah dan telah mengambil mangkuk dan jubah luarNya, hendak memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.
Kemudian, ketika Saccaka putra Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah-raga, ia tiba di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar. Dari jauh Yang Mulia Ānanda melihat kedatangannya dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Saccaka putra Nigaṇṭha, seorang pendebat dan pembicara yang cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, sedang datang ke sini. Ia ingin mendiskreditkan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Baik sekali jika Bhagavā sudi duduk sebentar demi belas kasih.” Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan jasmani, tetapi bukan pengembangan batin. Mereka tersentuh oleh perasaan sakit jasmani. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit jasmani, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya batin tunduk pada jasmani, jasmani menguasai batin. Mengapakah? Karena batin tidak dikembangkan. Tetapi terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani. Mereka tersentuh oleh perasaan sakit batin. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit batin, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya jasmani tunduk pada batin, batin menguasai jasmani. Mengapakah? Karena jasmani tidak dikembangkan. Guru Gotama, aku berpikir: ‘Para siswa Guru Gotama pasti berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani.’”
“Tetapi, Aggivessana, apakah yang telah engkau pelajari tentang pengembangan jasmani?”
“Ada, misalnya, Nanda Vaccha, Kisa Sankicca, Makkhali Gosāla. Mereka bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangan mereka, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; mereka tidak menerima makanan yang diserahkan atau makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; mereka tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, melintasi tongkat kayu, melintasi alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari seorang perempuan yang sedang berada di tengah-tengah para laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Mereka mendatangi satu rumah, satu suap; mereka mendatangi dua rumah, dua suap; … mereka mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Mereka makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Mereka makan sekali dalam sehari, sekali dalam dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; mereka berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.”
“Tetapi apakah mereka bertahan hidup dengan sedemikian sedikit, Aggivessana?”
“Tidak, Guru Gotama, kadang-kadang mereka memakan makanan padat yang baik, memakan makanan lunak yang baik, mengecap makanan-makanan lezat, meminum minuman-minuman yang baik. Karenanya mereka memperoleh kembali kesehatan mereka, memperkuat mereka, dan menjadi gemuk.”
“Apa yang mereka tinggalkan sebelumnya, Aggivessana, belakangan mereka kumpulkan lagi. Itu adalah bagaimana terdapat peningkatan dan penurunan dalam jasmani ini. Tetapi apakah yang telah engkau mempelajari tentang pengembangan batin?”
Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha ditanya oleh Sang Bhagavā tentang pengembangan batin, ia tidak mampu menjawab.
Kemudian Sang Bhagavā memberitahunya: “Apa yang baru saja engkau katakan sebagai pengembangan jasmani, Aggivessana, bukanlah pengembangan jasmani menurut Dhamma dalam Disiplin Yang Mulia. Karena engkau tidak mengetahui apakah pengembangan jasmani itu, bagaimana mungkin engkau mengetahui apakah pengembangan batin itu? Meskipun demikian, sehubungan dengan bagaimana seseorang tidak yang terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”—“Baik, Yang Mulia,” Saccaka putra Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Bagaimanakah, Aggivessana, seorang yang tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang biasa yang tidak terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia menginginkan kesenangan itu dan terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang. Siapapun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang, demikianlah yang disebut tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin.
“Dan bagaimanakah, Aggivessana, seorang yang terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang siswa mulia yang terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia tidak menginginkan kesenangan itu atau tidak terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena batinnya terkembang. Siapapun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena batinnya terkembang, demikianlah yang disebut terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.”
“Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.’”
“Aggivessana, kata-katamu menyindir dan kasar, namun Aku akan tetap menjawabnya. Sejak Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, tidaklah mungkin perasaan menyenangkan yang muncul dapat menyerbu pikiranKu dan menetap di sana atau perasaan menyakitkan yang muncul dapat menyerbu pikiranKu dan menetap di sana.”
“Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyenangkan sehingga dapat menyerbu pikiran Beliau dan menetap di sana? Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyakitkan sehingga dapat menyerbu pikiran Beliau dan menetap di sana? “
“Mengapa tidak, Aggivessana? Di sini, Aggivessana, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang tidak tercerahkan, Aku berpikir: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi menjalani kehidupan rumah tangga, juga menjalankan kehidupan suci yang sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’
“Kemudian, selagi masih mudah, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan … seperti pada MN 26, §§14–17 … Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’
“Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di dalam air, dan seseorang datang dengan membawa sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di dalam air?”
“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, dan terletak di dalam air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih belum hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan pertama yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.
“Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke dua muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”
“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, bahkan walaupun kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan ke dua yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya.
“Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke tiga muncul padaKu secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu kering terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu kering yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”
“Dapat, Guru Gotama. Mengapa? Karena kayu itu adalah kayu kering, dan kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air.”
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria telah sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan ke tiga yang muncul padaKu secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ini adalah tiga perumpamaan yang muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika, dengan mengertakkan gigiKu dan menekan lidahKu ke langit-langit mulutKu, Aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.’ Maka dengan gigiKu dikertakkan dan lidahKu menekan langit-langit mulut, Aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran. Sewaktu Aku melakukan demikian, keringat menetes dari ketiakKu. Bagaikan seorang kuat mampu mencengkeram seorang yang lebih lemah pada kepala atau bahunya dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula, dengan gigiKu dikertakkan dan lidahKu menekan langit-langit mulut, Aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, dan keringat menetes dari ketiakKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, namun tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut dan hidungKu. Sewaktu Aku melakukan demikian, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Bagaikan suara keras yang terdengar ketika pipa pengembus pandai besi ditiup, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui hidung dan telingaKu, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menembus kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat menusuk kepalaKu dengan ujung pedang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu. Angin kencang menembus kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat mengencangkan tali kulit di kepalaKu sebagai ikat kepala, demikian pula, ketika Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya membelah perut seekor sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Bagaikan dua orang kuat mencengkeram seseorang yang lebih lemah pada kedua lengannya dan memanggangnya di atas lubang membara, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Ketika para dewa melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama telah mati.’ Beberapa dewa lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati, Beliau sekarat.’ Dan para dewa lainnya lagi berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati ataupun sekarat; Beliau adalah seorang Arahant, karena demikianlah cara para Arahant berdiam.’
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih sepenuhnya tidak makan.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Tuan, jangan berlatih sepenuhnya tidak makan. Jika Engkau melakukan hal itu, kami akan memasukkan makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitMu dan Engkau akan hidup dengan itu.’ Aku mempertimbangkan: ‘Jika Aku mengaku sepenuhnya tidak makan sementara para dewa ini memasukkan makan-makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitKu dan Aku akan hidup dengan itu, maka artinya Aku berbohong.’ Maka aku mengusir para dewa itu, dan berkata: ‘Tidak perlu.’
“Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sop kacang atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong.’ Maka Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sop kacang atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong. Sewaktu Aku melakukan demikian, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhKu menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit punggungKu menjadi seperti kuku onta. Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungKu menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit kulit perutKu menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu. Karena makan begitu sedikit, jika Aku ingin buang air besar atau buang air kecil, maka Aku terjatuh dengan wajahKu di atas kotoran di sana.Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.
“Saat itu ketika orang-orang melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama hitam.’ Orang lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak hitam, Beliau cokelat. Orang lain lagi berkata: ‘Petapa Gotama bukan hitam juga bukan cokelat, ia berkulit keemasan.’ KulitKu yang bersih dan cerah menjadi sangat kusam karena makan sangat sedikit.
“Aku berpikir: ‘Para petapa atau brahmana manapun di masa lampau telah mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa depan akan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa sekarang mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Tetapi melalui latihan keras yang menyiksa ini Aku tidak mencapai kondisi melampaui manusia apapun, keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah ada jalan lain menuju pencerahan?’
“Aku mempertimbangkan: ‘Aku ingat ketika ayahKu orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?’ Kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’
“Aku berpikir: ‘Mengapa Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’
“Aku mempertimbangkan: ‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur.’ Dan Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur. Pada saat itu lima bhikkhu melayaniKu, dengan berpikir: ‘Jika Petapa Gotama kita mencapai kondisi yang lebih tinggi, Beliau akan memberitahu kita.’ Tetapi ketika Aku memakan nasi dan bubur, kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usahaNya dan kembali pada kemewahan.’
“Ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatanKu, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.
“Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya sukacita … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … seperti MN 4.27 … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.
“Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … seperti MN 4.29 … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.
“Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.
“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’
“Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’
“Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
“Aggivessana, Aku ingat pernah mengajarkan Dhamma kepada ratusan kelompok. Mungkin tiap-tiap orang berpikir: ‘Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma secara khusus untukku.’ Tetapi jangan dianggap demikian; Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada orang lain hanya untuk memberikan pengetahuan kepada mereka. Ketika pembabaran itu selesai, Aggivessana, kemudian Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya pada gambaran yang sama dengan gambaran konsentrasi sebelumnya, yang mana Aku berdiam di dalamnya secara terus-menerus.”
“Ini adalah suatu hal yang mana Guru Gotama dapat dipercaya, karena Beliau adalah Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna. Tetapi apakah Guru Gotama ingat pernah tertidur di siang hari?”
“Aku ingat, Aggivessana, di bulan terakhir musim panas, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan Aku menggelar jubah luarKu yang dilipat empat, dan berbaring pada sisi kananKu, Aku jatuh tertidur dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan.”
“Beberapa petapa dan brahmana menyebutnya kediaman dalam delusi, Guru Gotama.”
“Bukanlah demikian seseorang itu terdelusi atau tidak terdelusi, Aggivessana. Sehubungan dengan bagaimana seseorang itu terdelusi atau tidak terdelusi, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”—“Baik, Yang Mulia.” Saccaka putra Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Ia Kusebut terdelusi, Aggivessana, yang belum meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan tidak-meninggalkan noda-noda maka seseorang menjadi terdelusi. Ia Kusebut tidak terdelusi, yang telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan meninggalkan noda-noda maka seseorang menjadi tidak terdelusi. Sang Tathāgata, Aggivessana, telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong tidak akan mampu tumbuh lagi, demikian pula, Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori … menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.”
Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata: “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahNya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Pūraṇa Kassapa, dan kemudian ia berbicara berbelit-belit, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahNya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Makkhali Gosāla … Ajita Kesakambalin … Pakudha Kaccāyana … Sañjaya Belaṭṭhiputta … Nigaṇṭha Nātaputta, dan kemudian ia berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahNya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Dan sekarang, Guru Gotama, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak hal yang harus kami lakukan.”
“Sekarang adalah waktunya, Aggivessana, untuk melakukan apa yang engkau anggap baik.”
Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.
- Middle Discourses 36
The Longer Discourse With Saccaka
So I have heard. At one time the Buddha was staying near Vesālī, at the Great Wood, in the hall with the peaked roof.
Now at that time in the morning the Buddha, being properly dressed, took his bowl and robe, wishing to enter Vesālī for alms.
Then as Saccaka, the son of Jain parents, was going for a walk he approached the hall with the peaked roof in the Great Wood. Venerable Ānanda saw him coming off in the distance, and said to the Buddha, “Sir, Saccaka, the son of Jain parents, is coming. He’s a debater and clever speaker regarded as holy by many people. He wants to discredit the Buddha, the teaching, and the Saṅgha. Please, sir, sit for a moment out of compassion.” The Buddha sat on the seat spread out.
Then Saccaka went up to the Buddha, and exchanged greetings with him. When the greetings and polite conversation were over, he sat down to one side and said to the Buddha,
“Master Gotama, there are some ascetics and brahmins who live committed to the practice of developing physical endurance, without developing the mind. They suffer painful physical feelings. This happened to someone once. Their thighs became paralyzed, their heart burst, hot blood gushed from their mouth, and they went mad and lost their mind. Their mind was subject to the body, and the body had power over it. Why is that? Because their mind was not developed. There are some ascetics and brahmins who live committed to the practice of developing the mind, without developing physical endurance. They suffer painful mental feelings. This happened to someone once. Their thighs became paralyzed, their heart burst, hot blood gushed from their mouth, and they went mad and lost their mind. Their body was subject to the mind, and the mind had power over it. Why is that? Because their physical endurance was not developed. It occurs to me that Master Gotama’s disciples must live committed to the practice of developing the mind, without developing physical endurance.”
“But Aggivessana, what have you heard about the development of physical endurance?”
“Take, for example, Nanda Vaccha, Kisa Saṅkicca, and Makkhali Gosāla. They go naked, ignoring conventions. They lick their hands, and don’t come or wait when called. They don’t consent to food brought to them, or food prepared on purpose for them, or an invitation for a meal. They don’t receive anything from a pot or bowl; or from someone who keeps sheep, or who has a weapon or a shovel in their home; or where a couple is eating; or where there is a woman who is pregnant, breastfeeding, or who has a man in her home; or where there’s a dog waiting or flies buzzing. They accept no fish or meat or liquor or wine, and drink no beer. They go to just one house for alms, taking just one mouthful, or two houses and two mouthfuls, up to seven houses and seven mouthfuls. They feed on one saucer a day, two saucers a day, up to seven saucers a day. They eat once a day, once every second day, up to once a week, and so on, even up to once a fortnight. They live committed to the practice of eating food at set intervals.”
“But Aggivessana, do they get by on so little?”
“No, Master Gotama. Sometimes they eat a variety of luxury foods and drink a variety of luxury beverages. They gather their body’s strength, build it up, and get fat.”
“What they earlier gave up, they later got back. That is how there is the increase and decrease of this body. But Aggivessana, what have you heard about development of the mind?” When Saccaka was questioned by the Buddha about development of the mind, he was stumped.
So the Buddha said to Saccaka, “The development of physical endurance that you have described is not the legitimate development of physical endurance in the noble one’s training. And since you don’t even understand the development of physical endurance, how can you possibly understand the development of the mind? Still, as to how someone is undeveloped in physical endurance and mind, and how someone is developed in physical endurance and mind, listen and pay close attention, I will speak.”
“Yes, sir,” replied Saccaka. The Buddha said this:
“And how is someone undeveloped in physical endurance and mind? Take an uneducated ordinary person who has a pleasant feeling. When they experience pleasant feeling they become full of lust for it. Then that pleasant feeling ceases. And when it ceases, a painful feeling arises. When they suffer painful feeling, they sorrow and wail and lament, beating their breast and falling into confusion. Because their physical endurance is undeveloped, pleasant feelings occupy the mind. And because their mind is undeveloped, painful feelings occupy the mind. Someone whose mind is occupied by both pleasant and painful feelings like this is undeveloped in physical endurance and in mind.
And how is someone developed in physical endurance and mind? Take an educated noble disciple who has a pleasant feeling. When they experience pleasant feeling they don’t become full of lust for it. Then that pleasant feeling ceases. And when it ceases, painful feeling arises. When they suffer painful feelings they don’t sorrow or wail or lament, beating their breast and falling into confusion. Because their physical endurance is developed, pleasant feelings don’t occupy the mind. And because their mind is developed, painful feelings don’t occupy the mind. Someone whose mind is not occupied by both pleasant and painful feelings like this is developed in physical endurance and in mind.”
“I am quite confident that Master Gotama is developed in physical endurance and in mind.”
“Your words are clearly invasive and intrusive, Aggivessana. Nevertheless, I will answer you. Ever since I shaved off my hair and beard, dressed in ocher robes, and went forth from the lay life to homelessness, it has not been possible for any pleasant or painful feeling to occupy my mind.”
“Surely you must have had feelings so pleasant or so painful that they could occupy your mind?”
“How could I not, Aggivessana? Before my awakening—when I was still unawakened but intent on awakening—I thought: ‘Living in a house is cramped and dirty, but the life of one gone forth is wide open. It’s not easy for someone living at home to lead the spiritual life utterly full and pure, like a polished shell. Why don’t I shave off my hair and beard, dress in ocher robes, and go forth from the lay life to homelessness?’
Some time later, while still black-haired, blessed with youth, in the prime of life—though my mother and father wished otherwise, weeping with tearful faces—I shaved off my hair and beard, dressed in ocher robes, and went forth from the lay life to homelessness.
Once I had gone forth I set out to discover what is skillful, seeking the supreme state of sublime peace. I approached Āḷāra Kālāma and said to him, ‘Reverend Kālāma, I wish to lead the spiritual life in this teaching and training.’
Āḷāra Kālāma replied, ‘Stay, venerable. This teaching is such that a sensible person can soon realize their own tradition with their own insight and live having achieved it.’
I quickly memorized that teaching. So far as lip-recital and oral recitation were concerned, I spoke with knowledge and the authority of the elders. I claimed to know and see, and so did others.
Then it occurred to me, ‘It is not solely by mere faith that Āḷāra Kālāma declares: “I realize this teaching with my own insight, and live having achieved it.” Surely he meditates knowing and seeing this teaching.’
So I approached Āḷāra Kālāma and said to him, ‘Reverend Kālāma, to what extent do you say you’ve realized this teaching with your own insight?’ When I said this, he declared the dimension of nothingness.
Then it occurred to me, ‘It’s not just Āḷāra Kālāma who has faith, energy, mindfulness, immersion, and wisdom; I too have these things. Why don’t I make an effort to realize the same teaching that Āḷāra Kālāma says he has realized with his own insight?’ I quickly realized that teaching with my own insight, and lived having achieved it.
So I approached Āḷāra Kālāma and said to him, ‘Reverend Kālāma, have you realized this teaching with your own insight up to this point, and declare having achieved it?’
‘I have, reverend.’
‘I too have realized this teaching with my own insight up to this point, and live having achieved it.’
‘We are fortunate, reverend, so very fortunate to see a venerable such as yourself as one of our spiritual companions! So the teaching that I’ve realized with my own insight, and declare having achieved it, you’ve realized with your own insight, and live having achieved it. The teaching that you’ve realized with your own insight, and live having achieved it, I’ve realized with my own insight, and declare having achieved it. So the teaching that I know, you know, and the teaching you know, I know. I am like you and you are like me. Come now, reverend! We should both lead this community together.’ And that is how my teacher Āḷāra Kālāma placed me, his student, on the same position as him, and honored me with lofty praise.
Then it occurred to me, ‘This teaching doesn’t lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. It only leads as far as rebirth in the dimension of nothingness.’ Realizing that this teaching was inadequate, I left disappointed.
I set out to discover what is skillful, seeking the supreme state of sublime peace. I approached Uddaka, son of Rāma, and said to him, ‘Reverend, I wish to lead the spiritual life in this teaching and training.’
Uddaka replied, ‘Stay, venerable. This teaching is such that a sensible person can soon realize their own tradition with their own insight and live having achieved it.’
I quickly memorized that teaching. So far as lip-recital and oral recitation were concerned, I spoke with knowledge and the authority of the elders. I claimed to know and see, and so did others.
Then it occurred to me, ‘It is not solely by mere faith that Rāma declared: “I realize this teaching with my own insight, and live having achieved it.” Surely he meditated knowing and seeing this teaching.’
So I approached Uddaka, son of Rāma, and said to him, ‘Reverend, to what extent did Rāma say he’d realized this teaching with his own insight?’ When I said this, Uddaka, son of Rāma, declared the dimension of neither perception nor non-perception.
Then it occurred to me, ‘It’s not just Rāma who had faith, energy, mindfulness, immersion, and wisdom; I too have these things. Why don’t I make an effort to realize the same teaching that Rāma said he had realized with his own insight?’ I quickly realized that teaching with my own insight, and lived having achieved it.
So I approached Uddaka, son of Rāma, and said to him, ‘Reverend, had Rāma realized this teaching with his own insight up to this point, and declared having achieved it?’
‘He had, reverend.’
‘I too have realized this teaching with my own insight up to this point, and live having achieved it.’
‘We are fortunate, reverend, so very fortunate to see a venerable such as yourself as one of our spiritual companions! The teaching that Rāma had realized with his own insight, and declared having achieved it, you have realized with your own insight, and live having achieved it. The teaching that you’ve realized with your own insight, and live having achieved it, Rāma had realized with his own insight, and declared having achieved it. So the teaching that Rāma directly knew, you know, and the teaching you know, Rāma directly knew. Rāma was like you and you are like Rāma. Come now, reverend! You should lead this community.’ And that is how my spiritual companion Uddaka, son of Rāma, placed me in the position of a teacher, and honored me with lofty praise.
Then it occurred to me, ‘This teaching doesn’t lead to disillusionment, dispassion, cessation, peace, insight, awakening, and extinguishment. It only leads as far as rebirth in the dimension of neither perception nor non-perception.’ Realizing that this teaching was inadequate, I left disappointed.
I set out to discover what is skillful, seeking the supreme state of sublime peace. Traveling stage by stage in the Magadhan lands, I arrived at Senanigama near Uruvelā. There I saw a delightful park, a lovely grove with a flowing river that was clean and charming, with smooth banks. And nearby was a village to go for alms. Then it occurred to me, ‘This park is truly delightful, a lovely grove with a flowing river that’s clean and charming, with smooth banks. And nearby there’s a village to go for alms. This is good enough for a gentleman who wishes to put forth effort in meditation.’ So I sat down right there, thinking: ‘This is good enough for meditation.’
And then these three examples, which were neither supernaturally inspired, nor learned before in the past, occurred to me. Suppose there was a green, sappy log, and it was lying in water. Then a person comes along with a drill-stick, thinking to light a fire and produce heat. What do you think, Aggivessana? By drilling the stick against that green, sappy log lying in the water, could they light a fire and produce heat?”
“No, Master Gotama. Why not? Because it’s a green, sappy log, and it’s lying in the water. That person will eventually get weary and frustrated.”
“In the same way, there are ascetics and brahmins who don’t live withdrawn in body and mind from sensual pleasures. They haven’t internally given up or stilled desire, affection, infatuation, thirst, and passion for sensual pleasures. Regardless of whether or not they feel painful, sharp, severe, acute feelings due to overexertion, they are incapable of knowledge and vision, of supreme awakening. This was the first example that occurred to me.
Then a second example occurred to me. Suppose there was a green, sappy log, and it was lying on dry land far from the water. Then a person comes along with a drill-stick, thinking to light a fire and produce heat. What do you think, Aggivessana? By drilling the stick against that green, sappy log on dry land far from water, could they light a fire and produce heat?”
“No, Master Gotama. Why not? Because it’s still a green, sappy log, despite the fact that it’s lying on dry land far from water. That person will eventually get weary and frustrated.”
“In the same way, there are ascetics and brahmins who live withdrawn in body and mind from sensual pleasures. But they haven’t internally given up or stilled desire, affection, infatuation, thirst, and passion for sensual pleasures. Regardless of whether or not they suffer painful, sharp, severe, acute feelings due to overexertion, they are incapable of knowledge and vision, of supreme awakening. This was the second example that occurred to me.
Then a third example occurred to me. Suppose there was a dried up, withered log, and it was lying on dry land far from the water. Then a person comes along with a drill-stick, thinking to light a fire and produce heat. What do you think, Aggivessana? By drilling the stick against that dried up, withered log on dry land far from water, could they light a fire and produce heat?”
“Yes, Master Gotama. Why is that? Because it’s a dried up, withered log, and it’s lying on dry land far from water.”
“In the same way, there are ascetics and brahmins who live withdrawn in body and mind from sensual pleasures. And they have internally given up and stilled desire, affection, infatuation, thirst, and passion for sensual pleasures. Regardless of whether or not they suffer painful, sharp, severe, acute feelings due to overexertion, they are capable of knowledge and vision, of supreme awakening. This was the third example that occurred to me. These are the three examples, which were neither supernaturally inspired, nor learned before in the past, that occurred to me.
Then it occurred to me, ‘Why don’t I, with teeth clenched and tongue pressed against the roof of my mouth, squeeze, squash, and torture mind with mind.’ So that’s what I did, until sweat ran from my armpits. It was like when a strong man grabs a weaker man by the head or throat or shoulder and squeezes, squashes, and tortures them. In the same way, with teeth clenched and tongue pressed against the roof of my mouth, I squeezed, squashed, and tortured mind with mind until sweat ran from my armpits. My energy was roused up and unflagging, and my mindfulness was established and lucid, but my body was disturbed, not tranquil, because I’d pushed too hard with that painful striving. But even such painful feeling did not occupy my mind.
Then it occurred to me, ‘Why don’t I practice the breathless absorption?’ So I cut off my breathing through my mouth and nose. But then winds came out my ears making a loud noise, like the puffing of a blacksmith’s bellows. My energy was roused up and unflagging, and my mindfulness was established and lucid, but my body was disturbed, not tranquil, because I’d pushed too hard with that painful striving. But even such painful feeling did not occupy my mind.
Then it occurred to me, ‘Why don’t I keep practicing the breathless absorption?’ So I cut off my breathing through my mouth and nose and ears. But then strong winds ground my head, like a strong man was drilling into my head with a sharp point. My energy was roused up and unflagging, and my mindfulness was established and lucid, but my body was disturbed, not tranquil, because I’d pushed too hard with that painful striving. But even such painful feeling did not occupy my mind.
Then it occurred to me, ‘Why don’t I keep practicing the breathless absorption?’ So I cut off my breathing through my mouth and nose and ears. But then I got a severe headache, like a strong man was tightening a tough leather strap around my head. My energy was roused up and unflagging, and my mindfulness was established and lucid, but my body was disturbed, not tranquil, because I’d pushed too hard with that painful striving. But even such painful feeling did not occupy my mind.
Then it occurred to me, ‘Why don’t I keep practicing the breathless absorption?’ So I cut off my breathing through my mouth and nose and ears. But then strong winds carved up my belly, like a deft butcher or their apprentice was slicing my belly open with a meat cleaver. My energy was roused up and unflagging, and my mindfulness was established and lucid, but my body was disturbed, not tranquil, because I’d pushed too hard with that painful striving. But even such painful feeling did not occupy my mind.
Then it occurred to me, ‘Why don’t I keep practicing the breathless absorption?’ So I cut off my breathing through my mouth and nose and ears. But then there was an intense burning in my body, like two strong men grabbing a weaker man by the arms to burn and scorch him on a pit of glowing coals. My energy was roused up and unflagging, and my mindfulness was established and lucid, but my body was disturbed, not tranquil, because I’d pushed too hard with that painful striving. But even such painful feeling did not occupy my mind.
Then some deities saw me and said, ‘The ascetic Gotama is dead.’ Others said, ‘He’s not dead, but he’s dying.’ Others said, ‘He’s not dead or dying. The ascetic Gotama is a perfected one, for that is how the perfected ones live.’
Then it occurred to me, ‘Why don’t I practice completely cutting off food?’ But deities came to me and said, ‘Good sir, don’t practice totally cutting off food. If you do, we’ll infuse divine nectar into your pores and you will live on that.’ Then I thought, ‘If I claim to be completely fasting while these deities are infusing divine nectar in my pores, that would be a lie on my part.’ So I dismissed those deities, saying, ‘There’s no need.’
Then it occurred to me, ‘Why don’t I just take a little bit of food each time, a cup of broth made from mung beans, lentils, chickpeas, or green gram.’ So that’s what I did, until my body became extremely emaciated. Due to eating so little, my limbs became like the joints of an eighty-year-old or a corpse, my bottom became like a camel’s hoof, my vertebrae stuck out like beads on a string, and my ribs were as gaunt as the broken-down rafters on an old barn. Due to eating so little, the gleam of my eyes sank deep in their sockets, like the gleam of water sunk deep down a well. Due to eating so little, my scalp shriveled and withered like a green bitter-gourd in the wind and sun.
Due to eating so little, the skin of my belly stuck to my backbone, so that when I tried to rub the skin of my belly I grabbed my backbone, and when I tried to rub my backbone I rubbed the skin of my belly. Due to eating so little, when I tried to urinate or defecate I fell face down right there. Due to eating so little, when I tried to relieve my body by rubbing my limbs with my hands, the hair, rotted at its roots, fell out.
Then some people saw me and said: ‘The ascetic Gotama is black.’ Some said: ‘He’s not black, he’s brown.’ Some said: ‘He’s neither black nor brown. The ascetic Gotama has tawny skin.’ That’s how far the pure, bright complexion of my skin had been ruined by taking so little food.
Then I thought, ‘Whatever ascetics and brahmins have experienced painful, sharp, severe, acute feelings due to overexertion—whether in the past, future, or present—this is as far as it goes, no-one has done more than this. But I have not achieved any superhuman distinction in knowledge and vision worthy of the noble ones by this severe, grueling work. Could there be another path to awakening?’
Then it occurred to me, ‘I recall sitting in the cool shade of the rose-apple tree while my father the Sakyan was off working. Quite secluded from sensual pleasures, secluded from unskillful qualities, I entered and remained in the first absorption, which has the rapture and bliss born of seclusion, while placing the mind and keeping it connected. Could that be the path to awakening?’
Stemming from that memory came the realization: ‘That is the path to awakening!’
Then it occurred to me, ‘Why am I afraid of that pleasure, for it has nothing to do with sensual pleasures or unskillful qualities?’ Then I thought, ‘I’m not afraid of that pleasure, for it has nothing to do with sensual pleasures or unskillful qualities.’
Then I thought, ‘I can’t achieve that pleasure with a body so excessively emaciated. Why don’t I eat some solid food, some rice and porridge?’ So I ate some solid food.
Now at that time the five mendicants were attending on me, thinking, ‘The ascetic Gotama will tell us of any truth that he realizes.’ But when I ate some solid food, they left disappointed in me, saying, ‘The ascetic Gotama has become indulgent; he has strayed from the struggle and returned to indulgence.’
After eating solid food and gathering my strength, quite secluded from sensual pleasures, secluded from unskillful qualities, I entered and remained in the first absorption, which has the rapture and bliss born of seclusion, while placing the mind and keeping it connected. But even such pleasant feeling did not occupy my mind.
As the placing of the mind and keeping it connected were stilled, I entered and remained in the second absorption, which has the rapture and bliss born of immersion, with internal clarity and confidence, and unified mind, without placing the mind and keeping it connected. But even such pleasant feeling did not occupy my mind. And with the fading away of rapture, I entered and remained in the third absorption, where I meditated with equanimity, mindful and aware, personally experiencing the bliss of which the noble ones declare, ‘Equanimous and mindful, one meditates in bliss.’ But even such pleasant feeling did not occupy my mind. With the giving up of pleasure and pain, and the ending of former happiness and sadness, I entered and remained in the fourth absorption, without pleasure or pain, with pure equanimity and mindfulness. But even such pleasant feeling did not occupy my mind.
When my mind had immersed in samādhi like this—purified, bright, flawless, rid of corruptions, pliable, workable, steady, and imperturbable—I extended it toward recollection of past lives. I recollected my many kinds of past lives, with features and details.
This was the first knowledge, which I achieved in the first watch of the night. Ignorance was destroyed and knowledge arose; darkness was destroyed and light arose, as happens for a meditator who is diligent, keen, and resolute. But even such pleasant feeling did not occupy my mind.
When my mind had immersed in samādhi like this—purified, bright, flawless, rid of corruptions, pliable, workable, steady, and imperturbable—I extended it toward knowledge of the death and rebirth of sentient beings. With clairvoyance that is purified and superhuman, I saw sentient beings passing away and being reborn—inferior and superior, beautiful and ugly, in a good place or a bad place. I understood how sentient beings are reborn according to their deeds.
This was the second knowledge, which I achieved in the middle watch of the night. Ignorance was destroyed and knowledge arose; darkness was destroyed and light arose, as happens for a meditator who is diligent, keen, and resolute. But even such pleasant feeling did not occupy my mind.
When my mind had immersed in samādhi like this—purified, bright, flawless, rid of corruptions, pliable, workable, steady, and imperturbable—I extended it toward knowledge of the ending of defilements. I truly understood: ‘This is suffering’ … ‘This is the origin of suffering’ … ‘This is the cessation of suffering’ … ‘This is the practice that leads to the cessation of suffering.’ I truly understood: ‘These are defilements’ … ‘This is the origin of defilements’ … ‘This is the cessation of defilements’ … ‘This is the practice that leads to the cessation of defilements.’
Knowing and seeing like this, my mind was freed from the defilements of sensuality, desire to be reborn, and ignorance. When it was freed, I knew it was freed.
I understood: ‘Rebirth is ended; the spiritual journey has been completed; what had to be done has been done; there is no return to any state of existence.’
This was the third knowledge, which I achieved in the last watch of the night. Ignorance was destroyed and knowledge arose; darkness was destroyed and light arose, as happens for a meditator who is diligent, keen, and resolute. But even such pleasant feeling did not occupy my mind.
Aggivessana, I recall teaching the Dhamma to an assembly of many hundreds, and each person thinks that I am teaching the Dhamma especially for them. But it should not be seen like this. The Realized One teaches others only so that they can understand. When that talk is finished, I still, settle, unify, and immerse my mind in samādhi internally, using the same meditation subject as a foundation of immersion that I used before, which is my usual meditation.”
“I’d believe that of Master Gotama, just like a perfected one, a fully awakened Buddha. But do you ever recall sleeping during the day?”
“I do recall that in the last month of the summer, I have spread out my outer robe folded in four and lain down in the lion’s posture—on the right side, placing one foot on top of the other—mindful and aware.”
“Some ascetics and brahmins call that a deluded abiding.”
“That’s not how to define whether someone is deluded or not. But as to how to define whether someone is deluded or not, listen and pay close attention, I will speak.”
“Yes, sir,” replied Saccaka.
The Buddha said this:
“Whoever has not given up the defilements—corruptions that lead to future lives and are hurtful, resulting in suffering and future rebirth, old age, and death—is deluded, I say. For it’s not giving up the defilements that makes you deluded. Whoever has given up the defilements—corruptions that lead to future lives and are hurtful, resulting in suffering and future rebirth, old age, and death—is not deluded, I say. For it’s giving up the defilements that makes you not deluded.
The Realized One has given up the defilements—corruptions that lead to future lives and are hurtful, resulting in suffering and future rebirth, old age, and death. He has cut them off at the root, made them like a palm stump, obliterated them so they are unable to arise in the future. Just as a palm tree with its crown cut off is incapable of further growth, in the same way, the Realized One has given up the defilements so they are unable to arise in the future.”
When he had spoken, Saccaka said to him, “It’s incredible, Master Gotama, it’s amazing! When Master Gotama is repeatedly attacked with inappropriate and intrusive criticism, the complexion of his skin brightens and the color of his face becomes clear, just like a perfected one, a fully awakened Buddha.
I recall taking on Pūraṇa Kassapa in debate. He dodged the issue, distracting the discussion with irrelevant points, and displaying annoyance, hate, and bitterness. But when Master Gotama is repeatedly attacked with inappropriate and intrusive criticism, the complexion of his skin brightens and the color of his face becomes clear, just like a perfected one, a fully awakened Buddha.
I recall taking on Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhiputta, and Nigaṇṭha Nātaputta in debate. They all dodged the issue, distracting the discussion with irrelevant points, and displaying annoyance, hate, and bitterness. But when Master Gotama is repeatedly attacked with inappropriate and intrusive criticism, the complexion of his skin brightens and the color of his face becomes clear, just like a perfected one, a fully awakened Buddha.
Well, now, Master Gotama, I must go. I have many duties, and much to do.”
“Please, Aggivessana, go at your convenience.”
Then Saccaka, the son of Jain parents, having approved and agreed with what the Buddha said, got up from his seat and left.