Hancurnya Keinginan – Mahātaṇhāsankhaya Sutta MN38
Khotbah Panjang tentang
Hancurnya Keinginan
Situasi
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada seorang bhikkhu bernama Sāti, putra seorang nelayan, sebagai berikut: “Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Sāti dan bertanya kepadanya: “Teman Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu?”
“Demikianlah, teman-teman. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
Kemudian para bhikkhu itu, berniat untuk melepaskannya dari pandangan sesat itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Sati, jangan berkata seperti itu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā. Tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan demikian. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”
Namun walaupun ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh para bhikkhu ini, Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, masih dengan keras kepala melekat pada pandangan sesat itu dan terus mempertahankannya.
Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya dari pandangan sesat itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, dari pandangan sesatnya, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”
Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu: “Pergilah, bhikkhu, beritahu Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.”—“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Sāti dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Sāti.”
“Baik, teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian bertanya kepadanya: “Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu: ‘Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain ’?”
“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”
“Apakah kesadaran itu, Sāti?”
“Yang Mulia, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”
“Orang sesat, dari siapakah engkau pernah mengetahui bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran? Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami Kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, telah menyalakan bahkan sepercik kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”
“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”
Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sāti ini, putra seorang nelayan, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”
“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”
“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, putra seorang nelayan, salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.
Kondisionalitas Kesadaran
“Para bhikkhu, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, maka dikenal sebagai kesadaran-telinga; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, maka dikenal sebagai kesadaran-hidung; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, maka dikenal sebagai kesadaran-lidah; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada badan dan objek-sentuhan, maka dikenal sebagai kesadaran-badan; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran. Seperti halnya api yang dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka api itu membakar—ketika api membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan, maka dikenal sebagai api kayu gelondongan; ketika api membakar dengan bergantung pada kayu bakar, maka dikenal sebagai api kayu bakar; ketika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka dikenal sebagai api rumput; ketika api membakar dengan bergantung pada kotoran sapi, maka dikenal sebagai api kotoran sapi; ketika api membakar dengan bergantung pada sekam, maka dikenal sebagai api sekam; ketika api membakar dengan bergantung pada sampah, maka dikenal sebagai api sampah—demikian pula, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata … ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran.
Pertanyaan Umum Tentang Penjelmaan
“Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Ini telah muncul’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”—“Ya, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah ini telah muncul’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”—“Ya, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah muncul’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”—“Ya, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Ini telah muncul’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”—“Ya, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini telah muncul’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?”—“Ya, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”—“Ya, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, jika kalian melekat padanya, memujanya, sangat menghargainya, dan memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, jika kalian tidak melekat padanya, tidak memujanya, tidak sangat menghargainya, dan tidak memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?”—“Ya, Yang Mulia.”
Makanan Dan Kemunculan Bergantungan
“Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah muncul dan untuk menyokong mereka yang akan muncul. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.
“Sekarang, para bhikkhu, keempat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah dimunculkan dan dihasilkan? Keempat jenis makanan ini memiliki ketagihan sebagai sumbernya, ketagihan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari ketagihan. Dan ketagihan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Ketagihan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Dan enam landasan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Dan batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Dan bentukan-bentukan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya and dihasilkan? Bentukan-bentukan memiliki ketidak-tahuan sebagai sumbernya, ketidak-tahuan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari ketidak-tahuan.
Penjelasan Tentang Kemunculan Dalam Urutan Maju
“Maka, para bhikkhu, dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan muncul; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Munculnya Dalam Urutan Mundur
“‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian.’”
“‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran.’”
“‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan.’”
“‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kemelekatan memiliki ketagihan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kemelekatan memiliki ketagihan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan.’”
“‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah ketagihan memiliki perasaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Ketagihan memiliki perasaan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan.’”
“‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah perasaan memiliki kontak sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Perasaan memiliki kontak sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan.’”
“‘Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak.’”
“‘Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan.’”
“‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani.’”
“‘Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran.’”
“‘Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan memiliki ketidak-tahuan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Bentukan-bentukan memiliki ketidak-tahuan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan.’”
Kesimpulan Tentang Munculnya
“Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan adanya ini, maka itu ada; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu.’ Yaitu, dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan muncul; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan ; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Penjelasan Tentang Lenyapnya Dalam Urutan Maju
“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula ketagihan ; dengan lenyapnya ketagihan , lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Lenyapnya Dalam Urutan Mundur
“‘ Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini: ‘ Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian.’”
“‘Dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran’ … ‘Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan’ … ‘Dengan lenyapnya ketagihan , maka lenyap pula kemelekatan’ … Dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan … ‘Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan’ … ‘Dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak’ … ‘Dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan’ … ‘Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani’ … ‘Dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran’ … ’Dengan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya ketidak-tahuan atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”
“Bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya ketidak-tahuan, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini: ‘ Dengan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan.’”
Kesimpulan Tentang Lenyapnya
“Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan tidak adanya ini, maka itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.’ Yaitu, dengan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Pengetahuan Pribadi
“Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kembali ke masa lampau sebagai berikut: ‘Apakah kami ada di masa lampau? Apakah kami tidak ada di masa lampau? Apakah kami di masa lampau? Bagaimanakah kami di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa lampau?’?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian pergi ke masa depan sebagai berikut: ‘Apakah kami akan ada di masa depan? Apakah kami akan tidak ada di masa depan? Apakah kami di masa depan? Bagaimanakah kami di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa depan?’?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kebingungan dalam batin mengenai masa sekarang sebagai berikut: ‘Adakah aku? Tidak adakah aku? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Ke manakah makhluk ini akan pergi?’?”—“Tidak, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Kami menghormati Sang Guru. Kami berbicara sesuai apa yang kami lakukan demi hormat kami kepada Sang Guru’?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Petapa itu mengatakan hal ini, dan kami mengatakan demikian sesuai perintah petapa itu’?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kembali pada pelaksanaan, perdebatan, dan tanda-tanda keberuntungan dari para petapa dan brahmana biasa, menganggapnya sebagai inti dari kehidupan suci?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Apakah kalian mengatakan hanya apa yang kalian telah ketahui, telah lihat, dan telah pahami bagi diri kalian sendiri?”—“Ya, Yang Mulia.”
“Bagus, para bhikkhu. Maka kalian telah dituntun olehKu dengan Dhamma, yang terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri. Karena sehubungan dengan hal ini telah dikatakan: ‘Para bhikkhu, Dhamma ini terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri.’
Lingkaran Kehidupan: Kehamilan Hingga Dewasa
“Para bhikkhu, kehamilan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba—dalam kasus ini tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba—dalam kasus ini juga tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ketiga hal ini maka kehamilan janin dalam rahim terjadi.
“Sang ibu kemudian memelihara janin dalam rahimnya selama sembilan atau sepuluh bulan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, di akhir sembilan atau sepuluh bulan, sang ibu melahirkan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, ketika si anak lahir, sang ibu memberinya makan dengan darahnya sendiri; karena susu ibu disebut darah dalam Disiplin Yang Mulia.
“Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang, anak itu memainkan permainan-permainan seperti alat membajak mainan, melempar kayu, berjungkir-balik, kincir angin mainan, alat ukur mainan, kereta mainan, dan busur dan anak panah mainan.
“Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang lebih jauh lagi, pemuda itu menikmati lima utas kenikmatan indria, dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu.
Kelanjutan Lingkaran
“Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani tidak ditegakkan, dengan pikiran terbatas, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Masuk ke dalam apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan—apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan—ia bergembira dalam perasaan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, kegembiraan muncul dalam dirinya. Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan muncul; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, ia menginginkannya jika objek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika objek pikiran itu tidak menyenangkan … Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan muncul; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Akhir Dari Lingkaran: Latihan Bertahap
“Di sini, para bhikkhu, seorang Tathā gata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna … seperti MN 27, §§11–18 … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.
“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini demikian, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.
Akhir Dari Lingkaran: Lenyap Sepenuhnya
“Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani ditegakkan, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Setelah meninggalkan apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan—apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan—ia tidak bergembira dalam perasaan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya. Karena ia tidak melakukan hal itu, kegembiraan dalam perasaan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, ia tidak menginginkannya jika objek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika objek-pikiran itu tidak menyenangkan … Dengan lenyapnya kegembiraan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Penutup
“Para bhikkhu, ingatlah khotbah dariKu ini sebagai kebebasan dalam hancurnya ketagihan ini. Tetapi ingatlah Bhikkhu Sāti ini, putra seorang nelayan, terjebak dalam jaring besar ketagihan, jala ketagihan.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
- Middle Discourses 38
The Longer Discourse on the Ending of Craving
So I have heard. At one time the Buddha was staying near Sāvatthī in Jeta’s Grove, Anāthapiṇḍika’s monastery.
Now at that time a mendicant called Sāti, the fisherman’s son, had the following harmful misconception: “As I understand the Buddha’s teachings, it is this very same consciousness that roams and transmigrates, not another.”
Several mendicants heard about this. They went up to Sāti and said to him, “Is it really true, Reverend Sāti, that you have such a harmful misconception: ‘As I understand the Buddha’s teachings, it is this very same consciousness that roams and transmigrates, not another’?”
“Absolutely, reverends. As I understand the Buddha’s teachings, it is this very same consciousness that roams and transmigrates, not another.”
Then, wishing to dissuade Sāti from his view, the mendicants pursued, pressed, and grilled him, “Don’t say that, Sāti! Don’t misrepresent the Buddha, for misrepresentation of the Buddha is not good. And the Buddha would not say that. In many ways the Buddha has said that consciousness is dependently originated, since without a cause, consciousness does not come to be.”
But even though the mendicants pressed him in this way, Sāti obstinately stuck to his misconception and insisted on stating it.
When they weren’t able to dissuade Sāti from his view, the mendicants went to the Buddha, bowed, sat down to one side, and told him what had happened.
So the Buddha addressed a certain monk, “Please, monk, in my name tell the mendicant Sāti that the teacher summons him.”
“Yes, sir,” that monk replied. He went to Sāti and said to him, “Reverend Sāti, the teacher summons you.”
“Yes, reverend,” Sāti replied. He went to the Buddha, bowed, and sat down to one side. The Buddha said to him, “Is it really true, Sāti, that you have such a harmful misconception: ‘As I understand the Buddha’s teachings, it is this very same consciousness that roams and transmigrates, not another’?”
“Absolutely, sir. As I understand the Buddha’s teachings, it is this very same consciousness that roams and transmigrates, not another.”
“Sāti, what is that consciousness?”
“Sir, it is he who speaks and feels and experiences the results of good and bad deeds in all the different realms.”
“Silly man, who on earth have you ever known me to teach in that way? Haven’t I said in many ways that consciousness is dependently originated, since consciousness does not arise without a cause? But still you misrepresent me by your wrong grasp, harm yourself, and make much bad karma. This will be for your lasting harm and suffering.”
Then the Buddha said to the mendicants, “What do you think, mendicants? Has this mendicant Sāti kindled even a spark of wisdom in this teaching and training?”
“How could that be, sir? No, sir.” When this was said, Sāti sat silent, embarrassed, shoulders drooping, downcast, depressed, with nothing to say.
Knowing this, the Buddha said, “Silly man, you will be known by your own harmful misconception. I’ll question the mendicants about this.”
Then the Buddha said to the mendicants, “Mendicants, do you understand my teachings as Sāti does, when he misrepresents me by his wrong grasp, harms himself, and makes much bad karma?”
“No, sir. For in many ways the Buddha has told us that consciousness is dependently originated, since without a cause, consciousness does not come to be.”
“Good, good, mendicants! It’s good that you understand my teaching like this. For in many ways I have told you that consciousness is dependently originated, since without a cause, consciousness does not come to be. But still this Sāti misrepresents me by his wrong grasp, harms himself, and makes much bad karma. This will be for his lasting harm and suffering.
Consciousness is reckoned according to the specific conditions dependent upon which it arises. Consciousness that arises dependent on the eye and sights is reckoned as eye consciousness. Consciousness that arises dependent on the ear and sounds is reckoned as ear consciousness. Consciousness that arises dependent on the nose and smells is reckoned as nose consciousness. Consciousness that arises dependent on the tongue and tastes is reckoned as tongue consciousness. Consciousness that arises dependent on the body and touches is reckoned as body consciousness. Consciousness that arises dependent on the mind and thoughts is reckoned as mind consciousness.
It’s like fire, which is reckoned according to the specific conditions dependent upon which it burns. A fire that burns dependent on logs is reckoned as a log fire. A fire that burns dependent on twigs is reckoned as a twig fire. A fire that burns dependent on grass is reckoned as a grass fire. A fire that burns dependent on cow-dung is reckoned as a cow-dung fire. A fire that burns dependent on husks is reckoned as a husk fire. A fire that burns dependent on rubbish is reckoned as a rubbish fire.
In the same way, consciousness is reckoned according to the specific conditions dependent upon which it arises. …
Mendicants, do you see that this has come to be?”
“Yes, sir.”
“Do you see that it originated with that as fuel?”
“Yes, sir.”
“Do you see that when that fuel ceases, what has come to be is liable to cease?”
“Yes, sir.”
“Does doubt arise when you’re uncertain whether or not this has come to be?”
“Yes, sir.”
“Does doubt arise when you’re uncertain whether or not this has originated with that as fuel?”
“Yes, sir.”
“Does doubt arise when you’re uncertain whether or not when that fuel ceases, what has come to be is liable to cease?”
“Yes, sir.”
“Is doubt given up in someone who truly sees with right understanding that this has come to be?”
“Yes, sir.”
“Is doubt given up in someone who truly sees with right understanding that this has originated with that as fuel?”
“Yes, sir.”
“Is doubt given up in someone who truly sees with right understanding that when that fuel ceases, what has come to be is liable to cease?”
“Yes, sir.”
“Are you free of doubt as to whether this has come to be?”
“Yes, sir.”
“Are you free of doubt as to whether this has originated with that as fuel?”
“Yes, sir.”
“Are you free of doubt as to whether when that fuel ceases, what has come to be is liable to cease?”
“Yes, sir.”
“Have you truly seen clearly with right understanding that this has come to be?”
“Yes, sir.”
“Have you truly seen clearly with right understanding that this has originated with that as fuel?”
“Yes, sir.”
“Have you truly seen clearly with right understanding that when that fuel ceases, what has come to be is liable to cease?”
“Yes, sir.”
“Pure and bright as this view is, mendicants, if you cherish it, fancy it, treasure it, and treat it as your own, would you be understanding how the Dhamma is similar to a raft: for crossing over, not for holding on?”
“No, sir.”
“Pure and bright as this view is, mendicants, if you don’t cherish it, fancy it, treasure it, and treat it as your own, would you be understanding how the Dhamma is similar to a raft: for crossing over, not for holding on?”
“Yes, sir.”
“Mendicants, there are these four fuels. They maintain sentient beings that have been born and help those that are about to be born. What four? Solid food, whether coarse or fine; contact is the second, mental intention the third, and consciousness the fourth.
What is the source, origin, birthplace, and inception of these four fuels? Craving.
And what is the source of craving? Feeling.
And what is the source of feeling? Contact.
And what is the source of contact? The six sense fields.
And what is the source of the six sense fields? Name and form.
And what is the source of name and form? Consciousness.
And what is the source of consciousness? Choices.
And what is the source of choices? Ignorance.
So, ignorance is a condition for choices. Choices are a condition for consciousness. Consciousness is a condition for name and form. Name and form are conditions for the six sense fields. The six sense fields are conditions for contact. Contact is a condition for feeling. Feeling is a condition for craving. Craving is a condition for grasping. Grasping is a condition for continued existence. Continued existence is a condition for rebirth. Rebirth is a condition for old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress to come to be. That is how this entire mass of suffering originates.
‘Rebirth is a condition for old age and death.’ That’s what I said. Is that how you see this or not?”
“That’s how we see it.”
“‘Continued existence is a condition for rebirth.’ …
‘Ignorance is a condition for choices.’ That’s what I said. Is that how you see this or not?”
“That’s how we see it.”
“Good, mendicants! So both you and I say this. When this exists, that is; due to the arising of this, that arises. That is: Ignorance is a condition for choices. Choices are a condition for consciousness. Consciousness is a condition for name and form. Name and form are conditions for the six sense fields. The six sense fields are conditions for contact. Contact is a condition for feeling. Feeling is a condition for craving. Craving is a condition for grasping. Grasping is a condition for continued existence. Continued existence is a condition for rebirth. Rebirth is a condition for old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress to come to be. That is how this entire mass of suffering originates.
When ignorance fades away and ceases with nothing left over, choices cease. When choices cease, consciousness ceases. When consciousness ceases, name and form cease. When name and form cease, the six sense fields cease. When the six sense fields cease, contact ceases. When contact ceases, feeling ceases. When feeling ceases, craving ceases. When craving ceases, grasping ceases. When grasping ceases, continued existence ceases. When continued existence ceases, rebirth ceases. When rebirth ceases, old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress cease. That is how this entire mass of suffering ceases.
‘When rebirth ceases, old age and death cease.’ That’s what I said. Is that how you see this or not?”
“That’s how we see it.”
‘When continued existence ceases, rebirth ceases.’ …
‘When ignorance ceases, choices cease.’ That’s what I said. Is that how you see this or not?”
“That’s how we see it.”
“Good, mendicants! So both you and I say this. When this doesn’t exist, that is not; due to the cessation of this, that ceases. That is: When ignorance ceases, choices cease. When choices cease, consciousness ceases. When consciousness ceases, name and form cease. When name and form cease, the six sense fields cease. When the six sense fields cease, contact ceases. When contact ceases, feeling ceases. When feeling ceases, craving ceases. When craving ceases, grasping ceases. When grasping ceases, continued existence ceases. When continued existence ceases, rebirth ceases. When rebirth ceases, old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress cease. That is how this entire mass of suffering ceases.
Knowing and seeing in this way, mendicants, would you turn back to the past, thinking, ‘Did we exist in the past? Did we not exist in the past? What were we in the past? How were we in the past? After being what, what did we become in the past?’?”
“No, sir.”
“Knowing and seeing in this way, mendicants, would you turn forward to the future, thinking, ‘Will we exist in the future? Will we not exist in the future? What will we be in the future? How will we be in the future? After being what, what will we become in the future?’?”
“No, sir.”
“Knowing and seeing in this way, mendicants, would you be undecided about the present, thinking, ‘Am I? Am I not? What am I? How am I? This sentient being—where did it come from? And where will it go?’?”
“No, sir.”
“Knowing and seeing in this way, would you say, ‘Our teacher is respected. We speak like this out of respect for our teacher.’?”
“No, sir.”
“Knowing and seeing in this way, would you say, ‘Our ascetic says this. It’s only because of him that we say this’?”
“No, sir.”
“Knowing and seeing in this way, would you acknowledge another teacher?”
“No, sir.”
“Knowing and seeing in this way, would you believe that the observances and noisy, superstitious rites of the various ascetics and brahmins are the most important things?”
“No, sir.”
“Aren’t you speaking only of what you have known and seen and realized for yourselves?”
“Yes, sir.”
“Good, mendicants! You have been guided by me with this teaching that’s visible in this very life, immediately effective, inviting inspection, relevant, so that sensible people can know it for themselves. For when I said that this teaching is visible in this very life, immediately effective, inviting inspection, relevant, so that sensible people can know it for themselves, this is what I was referring to.
Mendicants, when three things come together an embryo is conceived. In a case where the mother and father come together, but the mother is not in the fertile part of her menstrual cycle, and the spirit being reborn is not present, the embryo is not conceived. In a case where the mother and father come together, the mother is in the fertile part of her menstrual cycle, but the spirit being reborn is not present, the embryo is not conceived. But when these three things come together—the mother and father come together, the mother is in the fertile part of her menstrual cycle, and the spirit being reborn is present—an embryo is conceived.
The mother nurtures the embryo in her womb for nine or ten months at great risk to her heavy burden. When nine or ten months have passed, the mother gives birth at great risk to her heavy burden. When the infant is born she nourishes it with her own blood. For mother’s milk is regarded as blood in the training of the Noble One.
That boy grows up and his faculties mature. He accordingly plays childish games such as toy plows, tipcat, somersaults, pinwheels, toy measures, toy carts, and toy bows.
That boy grows up and his faculties mature further. He accordingly amuses himself, supplied and provided with the five kinds of sensual stimulation. Sights known by the eye that are likable, desirable, agreeable, pleasant, sensual, and arousing.
Sounds known by the ear …
Smells known by the nose …
Tastes known by the tongue …
Touches known by the body that are likable, desirable, agreeable, pleasant, sensual, and arousing.
When they see a sight with their eyes, if it’s pleasant they desire it, but if it’s unpleasant they dislike it. They live with mindfulness of the body unestablished and their heart restricted. And they don’t truly understand the freedom of heart and freedom by wisdom where those arisen bad, unskillful qualities cease without anything left over.
Being so full of favoring and opposing, when they experience any kind of feeling—pleasant, unpleasant, or neutral—they approve, welcome, and keep clinging to it. This gives rise to relishing. Relishing feelings is grasping. Their grasping is a condition for continued existence. Continued existence is a condition for rebirth. Rebirth is a condition for old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress to come to be. That is how this entire mass of suffering originates.
When they hear a sound with their ears …
When they smell an odor with their nose …
When they taste a flavor with their tongue …
When they feel a touch with their body …
When they know a thought with their mind, if it’s pleasant they desire it, but if it’s unpleasant they dislike it. They live with mindfulness of the body unestablished and their heart restricted. And they don’t truly understand the freedom of heart and freedom by wisdom where those arisen bad, unskillful qualities cease without anything left over.
Being so full of favoring and opposing, when they experience any kind of feeling—pleasant, unpleasant, or neutral—they approve, welcome, and keep clinging to it. This gives rise to relishing. Relishing feelings is grasping. Their grasping is a condition for continued existence. Continued existence is a condition for rebirth. Rebirth is a condition for old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress to come to be. That is how this entire mass of suffering originates.
But consider when a Realized One arises in the world, perfected, a fully awakened Buddha, accomplished in knowledge and conduct, holy, knower of the world, supreme guide for those who wish to train, teacher of gods and humans, awakened, blessed. He has realized with his own insight this world—with its gods, Māras and Brahmās, this population with its ascetics and brahmins, gods and humans—and he makes it known to others. He proclaims a teaching that is good in the beginning, good in the middle, and good in the end, with the right meaning and phrasing. He reveals an entirely full and pure spiritual life.
A householder hears that teaching, or a householder’s child, or someone reborn in some good family. They gain faith in the Realized One, and reflect, ‘Living in a house is cramped and dirty, but the life of one gone forth is wide open. It’s not easy for someone living at home to lead the spiritual life utterly full and pure, like a polished shell. Why don’t I shave off my hair and beard, dress in ocher robes, and go forth from lay life to homelessness?’ After some time they give up a large or small fortune, and a large or small family circle. They shave off hair and beard, dress in ocher robes, and go forth from the lay life to homelessness.
Once they’ve gone forth, they take up the training and livelihood of the mendicants. They give up killing living creatures, renouncing the rod and the sword. They’re scrupulous and kind, living full of compassion for all living beings.
They give up stealing. They take only what’s given, and expect only what’s given. They keep themselves clean by not thieving.
They give up unchastity. They are celibate, set apart, avoiding the common practice of sex.
They give up lying. They speak the truth and stick to the truth. They’re honest and trustworthy, and don’t trick the world with their words.
They give up divisive speech. They don’t repeat in one place what they heard in another so as to divide people against each other. Instead, they reconcile those who are divided, supporting unity, delighting in harmony, loving harmony, speaking words that promote harmony.
They give up harsh speech. They speak in a way that’s mellow, pleasing to the ear, lovely, going to the heart, polite, likable and agreeable to the people.
They give up talking nonsense. Their words are timely, true, and meaningful, in line with the teaching and training. They say things at the right time which are valuable, reasonable, succinct, and beneficial.
They avoid injuring plants and seeds. They eat in one part of the day, abstaining from eating at night and food at the wrong time. They avoid dancing, singing, music, and seeing shows. They avoid beautifying and adorning themselves with garlands, perfumes, and makeup. They avoid high and luxurious beds. They avoid receiving gold and money, raw grains, raw meat, women and girls, male and female bondservants, goats and sheep, chickens and pigs, elephants, cows, horses, and mares, and fields and land. They avoid running errands and messages; buying and selling; falsifying weights, metals, or measures; bribery, fraud, cheating, and duplicity; mutilation, murder, abduction, banditry, plunder, and violence.
They’re content with robes to look after the body and almsfood to look after the belly. Wherever they go, they set out taking only these things. They’re like a bird: wherever it flies, wings are its only burden. In the same way, a mendicant is content with robes to look after the body and almsfood to look after the belly. Wherever they go, they set out taking only these things. When they have this entire spectrum of noble ethics, they experience a blameless happiness inside themselves.
When they see a sight with their eyes, they don’t get caught up in the features and details. If the faculty of sight were left unrestrained, bad unskillful qualities of desire and aversion would become overwhelming. For this reason, they practice restraint, protecting the faculty of sight, and achieving its restraint.
When they hear a sound with their ears …
When they smell an odor with their nose …
When they taste a flavor with their tongue …
When they feel a touch with their body …
When they know a thought with their mind, they don’t get caught up in the features and details. If the faculty of mind were left unrestrained, bad unskillful qualities of desire and aversion would become overwhelming. For this reason, they practice restraint, protecting the faculty of mind, and achieving its restraint. When they have this noble sense restraint, they experience an unsullied bliss inside themselves.
They act with situational awareness when going out and coming back; when looking ahead and aside; when bending and extending the limbs; when bearing the outer robe, bowl and robes; when eating, drinking, chewing, and tasting; when urinating and defecating; when walking, standing, sitting, sleeping, waking, speaking, and keeping silent.
When they have this noble spectrum of ethics, this noble sense restraint, and this noble mindfulness and situational awareness, they frequent a secluded lodging—a wilderness, the root of a tree, a hill, a ravine, a mountain cave, a charnel ground, a forest, the open air, a heap of straw.
After the meal, they return from almsround, sit down cross-legged with their body straight, and establish mindfulness right there. Giving up desire for the world, they meditate with a heart rid of desire, cleansing the mind of desire. Giving up ill will and malevolence, they meditate with a mind rid of ill will, full of compassion for all living beings, cleansing the mind of ill will. Giving up dullness and drowsiness, they meditate with a mind rid of dullness and drowsiness, perceiving light, mindful and aware, cleansing the mind of dullness and drowsiness. Giving up restlessness and remorse, they meditate without restlessness, their mind peaceful inside, cleansing the mind of restlessness and remorse. Giving up doubt, they meditate having gone beyond doubt, not undecided about skillful qualities, cleansing the mind of doubt.
They give up these five hindrances, corruptions of the heart that weaken wisdom. Then, quite secluded from sensual pleasures, secluded from unskillful qualities, they enter and remain in the first absorption, which has the rapture and bliss born of seclusion, while placing the mind and keeping it connected. Furthermore, as the placing of the mind and keeping it connected are stilled, a mendicant enters and remains in the second absorption … third absorption … fourth absorption.
When they see a sight with their eyes, if it’s pleasant they don’t desire it, and if it’s unpleasant they don’t dislike it. They live with mindfulness of the body established and a limitless heart. And they truly understand the freedom of heart and freedom by wisdom where those arisen bad, unskillful qualities cease without anything left over.
Having given up favoring and opposing, when they experience any kind of feeling—pleasant, unpleasant, or neutral—they don’t approve, welcome, or keep clinging to it. As a result, relishing of feelings ceases. When their relishing ceases, grasping ceases. When grasping ceases, continued existence ceases. When continued existence ceases, rebirth ceases. When rebirth ceases, old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress cease. That is how this entire mass of suffering ceases.
When they hear a sound with their ears …
When they smell an odor with their nose …
When they taste a flavor with their tongue …
When they feel a touch with their body …
When they know a thought with their mind, if it’s pleasant they don’t desire it, and if it’s unpleasant they don’t dislike it. They live with mindfulness of the body established and a limitless heart. And they truly understand the freedom of heart and freedom by wisdom where those arisen bad, unskillful qualities cease without anything left over.
Having given up favoring and opposing, when they experience any kind of feeling—pleasant, unpleasant, or neutral—they don’t approve, welcome, or keep clinging to it. As a result, relishing of feelings ceases. When their relishing ceases, grasping ceases. When grasping ceases, continued existence ceases. When continued existence ceases, rebirth ceases. When rebirth ceases, old age and death, sorrow, lamentation, pain, sadness, and distress cease. That is how this entire mass of suffering ceases.
Mendicants, you should memorize that brief statement on freedom through the ending of craving. But the mendicant Sāti, the fisherman’s son, is caught in a vast net of craving, a tangle of craving.”
That is what the Buddha said. Satisfied, the mendicants were happy with what the Buddha said.