Dhātuvibhaṅgasutta – Analysis tentang Unsur-Unsur
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Magadha dan akhirnya sampai di Rājagaha. Di sana Beliau mendatangi pengrajin tembikar Bhaggava dan berkata kepadanya:
“Jika tidak menyusahkanmu, Bhaggava, Aku akan bermalam satu malam di rumah kerjamu.”
“Sama sekali tidak menyusahkan bagiku, Yang Mulia, tetapi ada petapa lain yang telah berdiam di sini. Jika ia setuju, maka silahkan tinggal selama yang Engkau kehendaki, Yang Mulia.”
Pada saat itu seorang anggota keluarga bernama Pukkusāti yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Bhagavā dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan pada saat itu ia telah mendiami rumah kerja si pengrajin tembikar. Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Yang Mulia Pukkusāti dan berkata kepadanya: “Jika tidak menyusahkanmu, Bhikkhu, Aku akan bermalam satu malam di rumah kerja ini.”
“Rumah kerja pengrajin tembikar ini cukup luas, Sahabat. Silahkan Yang Mulia tinggal selama yang Beliau kehendaki.”
Kemudian Sang Bhagavā memasuki rumah kerja si pengrajin tembikar, mempersiapkan hamparan rumput di satu sudut, dan duduk bersila, menegakkan tubuhNya, dan menegakkan perhatian di depanNya. Kemudian Sang Bhagavā melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk bermeditasi, dan Yang Mulia Pukkusāti juga melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk bermeditasi. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini berperilaku sedemikian sehingga membangkitkan keyakinan. Bagaimana jika Aku menanyainya.” Maka Beliau bertanya kepada Yang Mulia Pukkusāti:
“Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, Bhikkhu? Siapakah gurumu? Dhamma siapakah yang engkau anut?”
“Sahabat, ada Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang berita baik sehubungan dengan Gotama yang Terberkahi itu telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Aku meninggalkan keduniawian di bawah Sang Bhagavā itu; Sang Bhagavā adalah guruku; aku menganut Dhamma dari Sang Bhagavā itu.”
“Tetapi, Bhikkhu, di manakah Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap sekarang?”
“Ada, Sahabat, sebuah kota di negeri utara bernama Sāvatthī. Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap di sana sekarang.”
“Tetapi, Bhikkhu, pernahkah engkau bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya? Apakah engkau mengenaliNya jika engkau bertemu denganNya?”
“Tidak, Sahabat, aku belum pernah bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya, juga tidak akan mengenaliNya jika aku bertemu denganNya.”
Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah di bawahKu. Bagaimana jika aku mengajarkan Dhamma kepadanya.” Maka Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Pukkusāti sebagai berikut: “Bhikkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”—“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Pukkusāti menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis eksplorasi pikiran, dan ia memiliki empat landasan. Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas landasan-landasan ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai. Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian. Ini adalah ringkasan penjelasan enam unsur.
“‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’
“‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kontak-mata, landasan kontak-telinga, landasan kontak-hidung, landasan kontak-lidah, landasan kontak-badan, landasan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’
“‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ketika melihat bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. Ketika mendengar suara dengan telinga … Ketika mencium bau-bauan dengan hidung … Ketika mengecap rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali objek pikiran dengan pikiran, suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia k-badan, landasan koseseorang mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’
“‘Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kebijaksanaan, landasan kebenaran, landasan pelepasan, dan landasan kedamaian. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’
“‘Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?
“Bagaimanakah, Bhikkhu, seseorang tidak melalaikan kebijaksanaan? Ada enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.
“Apakah, Bhikkhu, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, tinja, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur tanah.
“Apakah, Bhikkhu, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur air.
“Apakah, Bhikkhu, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur api.
“Apakah, Bhikkhu, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur udara.
“Apakah, Bhikkhu, unsur ruang? Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur ruang internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan celah di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur ruang.
“Maka di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah. Apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? Ia mengenali: ‘Ini adalah menyenangkan’; ia mengenali: ‘Ini adalah menyakitkan’; ia mengenali: ‘Ini adalah bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan maka muncul perasaan menyenangkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu—perasaan menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan—juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan maka muncul perasaan menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu—perasaan menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan—juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu—perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan—yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan—juga lenyap dan sirna.’ Bhikkhu, seperti halnya dari kontak dan gesekan kedua batang kayu-api maka panas dan api dihasilkan, dan dengan terpisahnya dan terlepasnya kedua kayu-api ini maka panas yang dihasilkan itu juga lenyap dan sirna; demikian pula, dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan … yang dirasakan sebagai menyakitkan … yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan … Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu … juga lenyap dan sirna.’
“Kemudian di sana hanya tersisa keseimbangan, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar. Misalkan, Bhikkhu, seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya mempersiapkan sebuah tungku, memanaskan wadah, mengambil sejumlah emas dengan penjepit, dan memasukkannya ke dalam wadah. Dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu ia memercikkan air ke atasnya, dan dari waktu ke waktu ia hanya melihatnya. Emas itu akan menjadi murni, lebih murni, dan sangat murni, tanpa cacat, bebas dari kotoran-kotoran logam, lunak, lentur, dan bersinar. Kemudian jenis perhiasan apapun yang ingin ia buat dari emas itu, apakah rantai emas atau anting-anting, atau kalung, atau kalung-bunga emas, maka keinginannya akan terpenuhi. Demikian pula, Bhikkhu, kemudian di sana hanya tersisa keseimbangan, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, dengan melekat pada landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama. Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, dengan melekat pada landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.’
“Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi. Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.’ Ia tidak membentuk kondisi apapun atau menghasilkan kehendak apapun yang condong mengarah baik pada penjelmaan ataupun pada tanpa-penjelmaan. Karena ia tidak membentuk kondisi apapun atau menghasilkan kehendak apapun yang condong mengarah baik pada penjelmaan ataupun pada tanpa-penjelmaan, maka ia tidak melekat pada apapun di dunia ini. Ketika ia tidak melekat, ia tidak bergejolak. Ketika ia tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami sebagai berikut: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’
“Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak ada yang bisa digenggam padanya; tidak ada kesenangan di dalamnya.’ Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak ada yang bisa digenggam padanya; tidak ada kesenangan di dalamnya.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak ada yang bisa digenggam padanya; tidak ada kesenangan di dalamnya.’
“Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia merasakannya tanpa terikat; jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia merasakannya tanpa terikat; jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya tanpa terikat. Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani.’ Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’ Bhikkhu, seperti halnya lampu minyak yang membakar dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan ketika minyak dan sumbunya habis, jika lampu itu tidak mendapatkan bahan bakar lagi, maka lampu itu akan padam karena kekurangan bahan bakar; demikian pula, ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani … perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’
“Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki kebijaksanaan ini memiliki landasan kebijaksanaan tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebijaksanaan mulia tertinggi, yaitu, pengetahuan hancurnya segala penderitaan.
“Kebebasannya, karena didirikan di atas kebenaran, adalah tidak tergoyahkan. Karena itu adalah salah, Bhikkhu, yang memiliki sifat menipu, dan itu adalah benar, yang memiliki sifat tidak menipu—Nibbāna. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki kebenaran ini memiliki landasan kebenaran yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebenaran mulia tertinggi, yaitu, Nibbāna, yang memiliki sifat tidak menipu.
“Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia menjalani dan menerima perolehan; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki pelepasan ini memiliki landasan pelepasan yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah pelepasan mulia yang tertinggi, yaitu, pelepasan segala perolehan.
“Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketamakan, keinginan, dan nafsu; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kemarahan, permusuhan, dan kebencian; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketidak-tahuan dan delusi; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki kedamaian ini memiliki landasan kedamaian yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kedamaian mulia yang tertinggi, yaitu, damainya nafsu, kebencian, dan delusi.
“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’
“‘Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas landasan-landasan ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?
“Bhikkhu, ‘aku’ adalah anggapan; ‘aku adalah ini’ adalah anggapan; ‘aku akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku tidak akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan. Anggapan adalah penyakit, anggapan adalah tumor, anggapan adalah anak panah. Dengan mengatasi segala anggapan, Bhikkhu, maka seseorang disebut seorang bijaksana damai. Dan sang bijaksana damai itu tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati; ia tidak tergoyahkan dan tidak merindukan. Karena tidak ada apapun padanya yang dengannya ia dapat terlahir. Karena tidak terlahir, bagaimana mungkin ia dapat menjadi tua? Karena tidak menjadi tua, bagaimana mungkin ia mati? Karena tidak mati, bagaimana mungkin ia dapat tergoyahkan? Karena tidak tergoyahkan, mengapa ia harus merindukan?
“Maka adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘ Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas landasan-landasan ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ Bhikkhu, ingatlah penjelasan singkat tentang enam unsur ini.”
Pada saat itu Yang Mulia Pukkusāti berpikir: “Sungguh, Sang Guru telah mendatangiku! Yang Sempurna telah mendatangiku! Yang Tercerahkan Sempurna telah mendatangiku!” Kemudian ia bangkit dari duduknya dan merapikan jubahnya di salah satu bahunya, dan bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, ia berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, karena bagaikan seorang dungu, bingung dan bodoh, aku menyapa Sang Bhagavā sebagai ‘Sahabat.’ Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”
“Tentu saja, Bhikkhu, suatu pelanggaran menguasaimu, karena bagaikan seorang dungu, bingung dan bodoh, engkau menyapaKu sebagai ‘Sahabat.’ Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu demikian dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau. Karena adalah kemajuan dalam Disiplin Para Mulia ketika seseorang melihat pelanggarannya demikian, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”
“Yang Mulia, aku ingin menerima penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā.”
“Tetapi apakah mangkuk dan jubahmu sudah lengkap, Bhikkhu?”
“Yang Mulia, mangkuk dan jubahku masih belum lengkap.”
“Bhikkhu, Para Tathāgata tidak memberikan penahbisan penuh kepada siapapun yang mangkuk dan jubahnya belum lengkap.”
Kemudian Yang Mulia Pukkusāti, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap berada di sisi kanannya, ia pergi untuk mencari mangkuk dan jubah. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Pukkusāti sedang mencari mangkuk dan jubahnya, seekor sapi yang berkeliaran membunuhnya.
Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, anggota keluarga Pukkusāti, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”
“Para bhikkhu, anggota keluarga Pukkusāti adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkanKu dalam menginterpretasikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, anggota keluarga Pukkusāti telah muncul kembali secara spontan di Alam Murni dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Dhātuvibhaṅgasutta – The Analysis of the Elements – Majjhima Nikaya 140
Middle Discourses 140
The Analysis of the Elements
So I have heard. At one time the Buddha was wandering in the Magadhan lands when he arrived at Rājagaha. He went to see Bhaggava the potter, and said, “Bhaggava, if it is no trouble, I’d like to spend a single night in your workshop.”
“It’s no trouble, sir. But there’s a renunciate already staying there. If he allows it, sir, you may stay as long as you like.”
Now at that time a gentleman named Pukkusāti had gone forth from the lay life to homelessness out of faith in the Buddha. And it was he who had first taken up residence in the workshop. Then the Buddha approached Venerable Pukkusāti and said, “Mendicant, if it is no trouble, I’d like to spend a single night in the workshop.”
“The potter’s workshop is spacious, reverend. Please stay as long as you like.”
Then the Buddha entered the workshop and spread out a grass mat to one side. He sat down cross-legged, with his body straight, and established mindfulness right there. He spent most of the night sitting meditation, and so did Pukkusāti.
Then it occurred to the Buddha, “This gentleman’s conduct is impressive. Why don’t I question him?”
So the Buddha said to Pukkusāti, “In whose name have you gone forth, reverend? Who is your Teacher? Whose teaching do you believe in?”
“Reverend, there is the ascetic Gotama—a Sakyan, gone forth from a Sakyan family. He has this good reputation: ‘That Blessed One is perfected, a fully awakened Buddha, accomplished in knowledge and conduct, holy, knower of the world, supreme guide for those who wish to train, teacher of gods and humans, awakened, blessed.’ I’ve gone forth in his name. That Blessed One is my Teacher, and I believe in his teaching.”
“But mendicant, where is the Blessed One at present, the perfected one, the fully awakened Buddha?”
“In the northern lands there is a city called Sāvatthī. There the Blessed One is now staying, the perfected one, the fully awakened Buddha.”
“But have you ever seen that Buddha? Would you recognize him if you saw him?”
“No, I’ve never seen him, and I wouldn’t recognize him if I did.”
Then it occurred to the Buddha, “This gentleman has gone forth in my name. Why don’t I teach him the Dhamma?”
So the Buddha said to Pukkusāti, “Mendicant, I shall teach you the Dhamma. Listen and pay close attention, I will speak.”
“Yes, reverend,” replied Pukkusāti. The Buddha said this:
“‘This person has six elements, six fields of contact, and eighteen mental preoccupations. They have four foundations, standing on which the streams of identification don’t flow. And when the streams of identification don’t flow, they’re called a sage at peace. Don’t neglect wisdom, preserve truth, foster generosity, and train only for peace.’ This is the recitation passage for the analysis of the elements.
‘This person has six elements.’ That’s what I said, but why did I say it? There are these six elements: the elements of earth, water, fire, air, space, and consciousness. ‘This person has six elements.’ That’s what I said, and this is why I said it.
‘This person has six fields of contact.’ That’s what I said, but why did I say it? The fields of contact of the eye, ear, nose, tongue, body, and mind. ‘This person has six fields of contact.’ That’s what I said, and this is why I said it.
‘This person has eighteen mental preoccupations.’ That’s what I said, but why did I say it? Seeing a sight with the eye, one is preoccupied with a sight that’s a basis for happiness or sadness or equanimity. Hearing a sound with the ear … Smelling an odor with the nose … Tasting a flavor with the tongue …
Feeling a touch with the body … Becoming conscious of a thought with the mind, one is preoccupied with a thought that’s a basis for happiness or sadness or equanimity. So there are six preoccupations with happiness, six preoccupations with sadness, and six preoccupations with equanimity. ‘This person has eighteen mental preoccupations.’ That’s what I said, and this is why I said it.
‘This person has four foundations.’ That’s what I said, but why did I say it? The foundations of wisdom, truth, generosity, and peace. ‘This person has four foundations.’ That’s what I said, and this is why I said it.
‘Don’t neglect wisdom, preserve truth, foster generosity, and train only for peace.’ That’s what I said, but why did I say it?
And how does one not neglect wisdom? There are these six elements: the elements of earth, water, fire, air, space, and consciousness.
And what is the earth element? The earth element may be interior or exterior. And what is the interior earth element? Anything hard, solid, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This includes head hair, body hair, nails, teeth, skin, flesh, sinews, bones, bone marrow, kidneys, heart, liver, diaphragm, spleen, lungs, intestines, mesentery, undigested food, feces, or anything else hard, solid, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This is called the interior earth element. The interior earth element and the exterior earth element are just the earth element. This should be truly seen with right understanding like this: ‘This is not mine, I am not this, this is not my self.’ When you truly see with right understanding, you reject the earth element, detaching the mind from the earth element.
And what is the water element? The water element may be interior or exterior. And what is the interior water element? Anything that’s water, watery, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This includes bile, phlegm, pus, blood, sweat, fat, tears, grease, saliva, snot, synovial fluid, urine, or anything else that’s water, watery, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This is called the interior water element. The interior water element and the exterior water element are just the water element. This should be truly seen with right understanding like this: ‘This is not mine, I am not this, this is not my self.’ When you truly see with right understanding, you reject the water element, detaching the mind from the water element.
And what is the fire element? The fire element may be interior or exterior. And what is the interior fire element? Anything that’s fire, fiery, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This includes that which warms, that which ages, that which heats you up when feverish, that which properly digests food and drink, or anything else that’s fire, fiery, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This is called the interior fire element. The interior fire element and the exterior fire element are just the fire element. This should be truly seen with right understanding like this: ‘This is not mine, I am not this, this is not my self.’ When you truly see with right understanding, you reject the fire element, detaching the mind from the fire element.
And what is the air element? The air element may be interior or exterior. And what is the interior air element? Anything that’s air, airy, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This includes winds that go up or down, winds in the belly or the bowels, winds that flow through the limbs, in-breaths and out-breaths, or anything else that’s air, airy, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This is called the interior air element. The interior air element and the exterior air element are just the air element. This should be truly seen with right understanding like this: ‘This is not mine, I am not this, this is not my self.’ When you truly see with right understanding, you reject the air element, detaching the mind from the air element.
And what is the space element? The space element may be interior or exterior. And what is the interior space element? Anything that’s space, spacious, and appropriated that’s internal, pertaining to an individual. This includes the ear canals, nostrils, and mouth; and the space for swallowing what is eaten and drunk, the space where it stays, and the space for excreting it from the nether regions. This is called the interior space element. The interior space element and the exterior space element are just the space element. This should be truly seen with right understanding like this: ‘This is not mine, I am not this, this is not my self.’ When you truly see with right understanding, you reject the space element, detaching the mind from the space element.
There remains only consciousness, pure and bright. And what does that consciousness know? It knows ‘pleasure’ and ‘pain’ and ‘neutral’. Pleasant feeling arises dependent on a contact to be experienced as pleasant. When they feel a pleasant feeling, they know: ‘I feel a pleasant feeling.’ They know: ‘With the cessation of that contact to be experienced as pleasant, the corresponding pleasant feeling ceases and stops.’
Painful feeling arises dependent on a contact to be experienced as painful. When they feel a painful feeling, they know: ‘I feel a painful feeling.’ They know: ‘With the cessation of that contact to be experienced as painful, the corresponding painful feeling ceases and stops.’
Neutral feeling arises dependent on a contact to be experienced as neutral. When they feel a neutral feeling, they know: ‘I feel a neutral feeling.’ They know: ‘With the cessation of that contact to be experienced as neutral, the corresponding neutral feeling ceases and stops.’
When you rub two sticks together, heat is generated and fire is produced. But when you part the sticks and lay them aside, any corresponding heat ceases and stops. In the same way, pleasant feeling arises dependent on a contact to be experienced as pleasant. …
They know: ‘With the cessation of that contact to be experienced as neutral, the corresponding neutral feeling ceases and stops.’
There remains only equanimity, pure, bright, pliable, workable, and radiant. It’s like when a goldsmith or a goldsmith’s apprentice prepares a forge, fires the crucible, picks up some gold with tongs and puts it in the crucible. From time to time they fan it, from time to time they sprinkle water on it, and from time to time they just watch over it. That gold becomes pliable, workable, and radiant, not brittle, and is ready to be worked. Then the goldsmith can successfully create any kind of ornament they want, whether a bracelet, earrings, a necklace, or a golden garland. In the same way, there remains only equanimity, pure, bright, pliable, workable, and radiant.
They understand: ‘If I were to apply this equanimity, so pure and bright, to the dimension of infinite space, my mind would develop accordingly. And this equanimity of mine, relying on that and grasping it, would remain for a very long time. If I were to apply this equanimity, so pure and bright, to the dimension of infinite consciousness, my mind would develop accordingly. And this equanimity of mine, relying on that and grasping it, would remain for a very long time. If I were to apply this equanimity, so pure and bright, to the dimension of nothingness, my mind would develop accordingly. And this equanimity of mine, relying on that and grasping it, would remain for a very long time. If I were to apply this equanimity, so pure and bright, to the dimension of neither perception nor non-perception, my mind would develop accordingly. And this equanimity of mine, relying on that and grasping it, would remain for a very long time.’
They understand: ‘If I were to apply this equanimity, so pure and bright, to the dimension of infinite space, my mind would develop accordingly. But that is conditioned. If I were to apply this equanimity, so pure and bright, to the dimension of infinite consciousness … nothingness … neither perception nor non-perception, my mind would develop accordingly. But that is conditioned.’
They neither make a choice nor form an intention to continue existence or to end existence. Because of this, they don’t grasp at anything in the world. Not grasping, they’re not anxious. Not being anxious, they personally become extinguished.
They understand: ‘Rebirth is ended, the spiritual journey has been completed, what had to be done has been done, there is no return to any state of existence.’
If they feel a pleasant feeling, they understand that it’s impermanent, that they’re not attached to it, and that they don’t take pleasure in it. If they feel a painful feeling, they understand that it’s impermanent, that they’re not attached to it, and that they don’t take pleasure in it. If they feel a neutral feeling, they understand that it’s impermanent, that they’re not attached to it, and that they don’t take pleasure in it.
If they feel a pleasant feeling, they feel it detached. If they feel a painful feeling, they feel it detached. If they feel a neutral feeling, they feel it detached. Feeling the end of the body approaching, they understand: ‘I feel the end of the body approaching.’ Feeling the end of life approaching, they understand: ‘I feel the end of life approaching.’ They understand: ‘When my body breaks up and my life has come to an end, everything that’s felt, since I no longer take pleasure in it, will become cool right here.’
Suppose an oil lamp depended on oil and a wick to burn. As the oil and the wick are used up, it would be extinguished due to lack of fuel. In the same way, feeling the end of the body approaching, they understand: ‘I feel the end of the body approaching.’ Feeling the end of life approaching, they understand: ‘I feel the end of life approaching.’ They understand: ‘When my body breaks up and my life has come to an end, everything that’s felt, since I no longer take pleasure in it, will become cool right here.’
Therefore a mendicant thus endowed is endowed with the ultimate foundation of wisdom. For this is the ultimate noble wisdom, namely, the knowledge of the ending of suffering.
Their freedom, being founded on truth, is unshakable. For that which is false has a deceptive nature, while that which is true has an undeceptive nature—extinguishment. Therefore a mendicant thus endowed is endowed with the ultimate foundation of truth. For this is the ultimate noble truth, namely, that which has an undeceptive nature—extinguishment.
In their ignorance, they used to acquire attachments. Those have been cut off at the root, made like a palm stump, obliterated so they are unable to arise in the future. Therefore a mendicant thus endowed is endowed with the ultimate foundation of generosity. For this is the ultimate noble generosity, namely, letting go of all attachments.
In their ignorance, they used to be covetous, full of desire and lust. That has been cut off at the root, made like a palm stump, obliterated so it’s unable to arise in the future. In their ignorance, they used to be contemptuous, full of ill will and malevolence. That has been cut off at the root, made like a palm stump, obliterated so it’s unable to arise in the future. In their ignorance, they used to be ignorant, full of delusion. That has been cut off at the root, made like a palm stump, obliterated so it’s unable to arise in the future. Therefore a mendicant thus endowed is endowed with the ultimate foundation of peace. For this is the ultimate noble peace, namely, the pacification of greed, hate, and delusion.
‘Don’t neglect wisdom, preserve truth, foster generosity, and train only for peace.’ That’s what I said, and this is why I said it.
‘They have four foundations, standing on which the streams of identification don’t flow. And when the streams of identification don’t flow, they’re called a sage at peace.’ That’s what I said, but why did I say it?
These are all forms of identifying: ‘I am’, ‘I am this’, ‘I will be’, ‘I will not be’, ‘I will have form’, ‘I will be formless’, ‘I will be percipient’, ‘I will be non-percipient’, ‘I will be neither percipient nor non-percipient.’ Identification is a disease, a boil, a dart. Having gone beyond all identification, one is called a sage at peace. The sage at peace is not reborn, does not grow old, and does not die. They are not shaken, and do not yearn. For they have nothing which would cause them to be reborn. Not being reborn, how could they grow old? Not growing old, how could they die? Not dying, how could they be shaken? Not shaking, for what could they yearn?
‘They have four foundations, standing on which the streams of identification don’t flow. And when the streams of identification don’t flow, they’re called a sage at peace.’ That’s what I said, and this is why I said it. Mendicant, you should remember this brief analysis of the six elements.”
Then Venerable Pukkusāti thought, “It seems the Teacher has come to me! The Holy One has come to me! The fully awakened Buddha has come to me!” He got up from his seat, arranged his robe over one shoulder, bowed with his head to the Buddha’s feet, and said, “I have made a mistake, sir. It was foolish, stupid, and unskillful of me to presume to address the Buddha as ‘reverend’. Please, sir, accept my mistake for what it is, so I will restrain myself in future.”
“Indeed, mendicant, you made a mistake. It was foolish, stupid, and unskillful of you to act in that way. But since you have recognized your mistake for what it is, and have dealt with it properly, I accept it. For it is growth in the training of the Noble One to recognize a mistake for what it is, deal with it properly, and commit to restraint in the future.”
“Sir, may I receive the going forth, the ordination in the Buddha’s presence?”
“But mendicant, are your bowl and robes complete?”
“No, sir, they are not.”
“The Realized Ones do not ordain those whose bowl and robes are incomplete.”
And then Venerable Pukkusāti approved and agreed with what the Buddha said. He got up from his seat, bowed, and respectfully circled the Buddha, keeping him on his right, before leaving.
But while he was wandering in search of a bowl and robes, a stray cow took his life.
Then several mendicants went up to the Buddha, bowed, sat down to one side, and said to him, “Sir, the gentleman named Pukkusāti, who was advised in brief by the Buddha, has passed away. Where has he been reborn in his next life?”
“Mendicants, Pukkusāti was astute. He practiced in line with the teachings, and did not trouble me about the teachings. With the ending of the five lower fetters, he’s been reborn spontaneously and will become extinguished there, not liable to return from that world.”
That is what the Buddha said. Satisfied, the mendicants were happy with what the Buddha said.